DUA

11 3 3
                                    

Ini di mana?

Mata Nora mengerjap, sedikit silau dengan sinar di depannya. Dia terbangun di atas ranjangnya, tetapi suasana di sekitar terasa lembab dan dingin. Gadis itu melupakan sandalnya, lantas beranjak menuju pintu kamar.

Sepi dan temaram. Nora tidak tahu jam berapa sekarang, mungkin sekitar tengah malam mengingat dia tertidur sejak jam tujuh. Lantas ke mana Ayah dan Ibunya sekarang?

Mereka tidak ada. Nora sendirian di sini.

Samar telinga Nora menangkap suara piano dari lantai bawah. Siapa yang memainkan piano malam-malam begini? Jiwa penakut gadis itu kembali bangkit, menyuruhnya untuk lari ke kamar atau bersembunyi. Namun, rasa ingin tahunya lebih besar, terlebih suara piano itu begitu lembut menyentuh hatinya.

"Masa orang sih? Fiks dedemit ini," katanya pelan. Tangannya menyibak anak rambut yang menutupi mata.

Lantai keramik terasa seratus kali lebih dingin saat kakinya menapaki anak tangga, makin mendekat ke sumber suara. Di anak tangga terakhir, Nora berhenti. Tidak ada piano di lantai bawah. Jadi, dari mana asal suara itu?

Seharian kemarin dirinya sudah berkeliling rumah ini, tidak ada sesuatu yang aneh. Hanya studio di samping kamarnya yang belum dia singgahi. Oh! Pintu di bawah tangga ....

Walau takut, Nora melangkah perlahan mendekati pintu cokelat yang sedikit terbuka. Kalau diingat-ingat, pintu itu sudah dikunci oleh ibunya, lalu kenapa bisa terbuka? Ada seberkas cahaya yang lolos dari celah pintu yang terbuka. Jemari Nora membeku, dingin sekali sekujur tubuhnya.

"Nggak sopan banget kamu."

Jantung Nora seperti berhenti sepersekian detik saat suara itu terdengar. Demi ... suara apa itu? Mau berbalik takut, tidak berbalik pasti juga terlihat dari mana asalnya suara tadi. Jadinya Nora memberanikan diri menoleh ke samping juga ke belakang.

Benar dugaannya tadi. Demit!

"Nggak usah melotot gitu matanya, yang setan di sini aku," katanya lagi.

Nora ingin sekali mengompol, tetapi malu juga dilihat dedemit ini. Dia mencoba mengubah ekspresinya menjadi datar, tetapi ya tetap tidak bisa! Nora takut!

"Ibuk ...."

Sosok yang tertangkap indra penglihatan Nora mendengus pelan. Dia sepertinya lupa untuk mengubah wujudnya yang menyeramkan, tanpa aba-aba tangannya menutup kedua mata Nora, lantas menarik tangannya kembali.

Kini sosok yang berdiri di depan gadis itu bukan sosok bermata hitam dengan kedua taring yang mencuat tajam dari mulutnya, tidak ada lagi cairan hitam pekat yang mengalir dari kepalanya. Sosok itu sekarang terlihat seperti manusia normal, minus mukanya saja yang pucat dan kaki yang melayang.

"K-kamu si-apa?" Takut-takut Nora bertanya, seram sekali wujudnya tadi. Untung saja dia tidak pingsan di tempat.

"Harusnya aku yang tanya, siapa kamu? Ngapain di rumahku?" Sosok itu balik bertanya, sorot matanya sinis.

Rumah? Iya juga, Nora tidak tahu ini rumah siapa. Kata ayahnya mereka disuruh tinggal di sini sampai pekerjaan ayah Nora selesai. Jadi, ini rumah cowok itu?

Nora menggeleng pelan. "Ini sekarang rumahku?" Ada nada tanya di ucapannya, seakan meminta persetujuan entah pada siapa. "Kamu siapa?"

"Aku yang punya rumah ini!"

Helaan napas Nora terdengar keras. "Iya, tahu. Tapi namamu siapa? Eh, ini kalo kita salaman kamu bisa jadi pesuruhku nggak sih? Kayak di film-film itu."

"Sembarang kalo ngomong!" Sosok itu menggerakkan tangan seperti ingin memukul kepala Nora, tetapi yang dirasakan gadis itu hanya tamparan angin dingin di pucuk kepalanya.

"Selow dong, Bang. Nanya doang aku." Nora mundur dua langkah, jaga-jaga kalau ada serangan dadakan lagi. "Bisa mengabulkan permintaan nggak, Bang?"

Nyaris. Nyaris saja tangan pucat itu mengenai kepala Nora lagi jika dia tidak refleks menunduk.

"Dosa apa aku ketemu manusia macam dia." Sosok itu mengusap wajahnya, ingin marah, tetapi tertahan oleh sesuatu. "Kamu pikir aku jin di lampu teko? Untung ketemunya sama aku."

Entah ke mana rasa takut Nora tadi, dia malah dengan santainya mengulurkan tangan kanannya. "Aku Nora, Abang siapa?"

Sosok itu memandang Nora tanpa ekspresi, mengabaikan uluran tangan gadis itu. "Aku siapa?"

"Kok balik nanya sih?"

Ini Nora benar masih di dunia nyata? Masih hidup, 'kan? Atau jangan-jangan dirinya diculik dan dijadikan tumbal untuk pemilik rumah ini, makin merinding Nora.

"Kamu penasaran namaku siapa? Sama sih, aku juga penasaran," kata sosok itu, dirinya melayang rendah mendekati pintu cokelat di bawah tangga. "Saat bangun, aku sudah berada di sini. Nggak ingat apa-apa."

Dahi Nora mengkerut, mengingat-ingat adegan di film horor yang kadang dia tonton. Apa setelah manusia mati, ingatan mereka akan hilang? Lalu arwah seperti sosok di depannya ini seharusnya sudah pergi ke tempat lain bukan? Apa dia punya dendam atau semacamnya? Ah, mana mungkin, nama saja dia tidak ingat.

"Apa barang-barangmu di rumah ini masih ada? Akta atau ijazah pastinya ada dong?"

"Masih ada beberapa, tapi aku nggak bisa cari tahu itu semua. Mungkin energiku di sini tipis, jadi nggak bisa megang apa-apa," jelas sosok itu. "Oh ya, sebaiknya kamu bangun."

Dia tersenyum lebar, ujung bibirnya tertarik sampai telinga dengan bola mata menghitam.

"SETAN GILA!"

Nora terperanjat saat membuka mata, napasnya terengah-engah. Dia masih terduduk di ranjang, rambutnya acak-acakan dengan tubuh berkeringat. Demit sialan!

Something Only We Know Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang