SATU

37 5 6
                                    

Pintu putih kusam setinggi dua meter berderit terbuka, bau jamur menguar memenuhi indra penciuman ketiga orang yang kini memasuki rumah. Lantai putih yang menjadi pijakan terasa dingin walaupun mereka memakai sepatu, debunya tampak tebal.

"Yah, kenapa pindah ke sini sih? Kan bisa nyewa rumah saja yang kecil." Seorang gadis berjaket biru menyeret koper pink, berhenti tepat di samping sofa yang tertutup kain putih.

Aris mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu, rumah ini cukup besar untuk ditinggali tiga orang. Namun, mau bagaimana lagi? "Rumah ini dekat sama sekolahmu, lagian daripada sewa rumah. Ini fasilitas dari klien Ayah."

Mendengar jawaban tersebut, wajah Nora makin cemberut. Tangannya menyingkirkan tudung dari kepala, lantas mendongak melihat ujung tangga. "Kamarku di lantai atas ya, Buk?"

"Boleh, tapi bantuin beres-beres dulu yuk," ajak Hasna.

Matahari mulai meninggi saat Nora menyeret kopernya menaiki tangga. Dengan sisa tenaga setelah membersihkan ruangan bawah, dia ingin melihat calon kamar yang akan ditinggali selagi ada di sini.

Ada dua pintu saat gadis itu sampai di ujung tangga. Lantai dua cukup gelap karena gorden masih belum dibuka, Nora mencoba menyalakan lampu, tetapi nihil. Alhasil, dia tetap melangkah membuka pintu berwarna putih di sebelah kiri, ini ruangan semacam ... studio? Walau sedikit bingung, Nora beralih ke pintu di sebelah berwarna hitam. Wow, dia terkejut melihat kamar itu cukup luas dan ... ada perasaan aneh yang Nora pikirkan.

"Kok kamarnya suram begini, ya? Ada demitnya kali." Nora menggeleng keras untuk menghapus pikiran kotornya, takut-takut si demit tiba-tiba muncul 'kan tidak lucu.

Cukup main-mainnya, saatnya menata kamar.

Nora menarik kain yang menutupi kasur, meja, dan rak di dekat jendela. Ternyata kamar ini cukup rapi, seperti belum lama ditinggalkan. Jemari Nora menarik gorden dan matanya langsung disambut sinar matahari siang yang terik. Dia mencoba membuka kaca yang menghubungkan kamar dengan balkon, bisa terbuka. Oke, Nora suka pemandangan dari atas sini.

Taman di bawah akan penuh bunga saat Hasna turun tangan, ibunya memang suka bercocok tanam, bunga apa saja juga ditanam. Jika Nora tidak mengomel, mungkin saja putri malu juga akan menghiasi taman rumah ini.

Teringat akan sesuatu, Nora berbalik masuk. Koper yang berisi pakaian masih ada di bawah, sedangkan koper berwarna pink yang sejak tadi dia seret berisi seluruh hidupnya, Nora memang kadang lebay jika menyangkut oppa kesayangannya.

"Bersih-bersih kurang afdol kalo nggak pake musik, bentar cari dulu playlist-nya. Nah, ini aja."

Begitu ponsel Nora tergeletak di atas kasur, alunan musik mulai memenuhi kamar tersebut. Lagu Volkno bergema keras saat gadis tadi membongkar koper. Isi kopernya tidak jauh-jauh dari KPop, ada lightstick, PC, keychain, hingga album. Maklum Nora adalah seorang fangirl sebuah grup KPop, jadi apa-apa dibeli olehnya.

Beberapa barang sudah berpindah ke atas meja, Nora masih berjoget tidak jelas saat lagu berganti. Menikmati lagu memang harus seperti ini, gila sedikit tidak masalah. Kesenangan Nora terhenti ketika pintu kamar barunya tertutup kencang, membuat gadis itu terperangah.

"De-demit ya?" tanya Nora. Untung saja dia tidak refleks melempar lightstick di tangannya saat adegan horor tadi terjadi.

"... sik."

"HAH?"

Telinga Nora tidak salah dengar, 'kan? Tadi ada suara pelan sekali merambat ke gendang telinganya, bulu kuduk Nora saksinya. Ini bagusnya dia lari atau langsung pingsan saja? Aduh, lari dulu mungkin ya.

Nora berbalik badan saat sudah sampai di depan pintu, ponselnya masih di atas kasur. Dengan cepat tangannya meraih benda pipih itu dan langsung membuka pintu. Niatnya Nora ingin berteriak agar ayah dan ibunya datang, tetapi mulut gadis itu tertutup rapat saat matanya menangkap sosok halus yang berjalan menembusnya, atau lebih tepatnya melayang?

-ˋˏ✄┈┈┈┈

"Kamu ini loh, baru sehari di sini udah sakit saja. Banyak tingkah pasti," omel Hasna, wanita berusia tiga puluh tujuh itu memeras kain kecil lalu menempelkannya pada dahi sang anak.

Mau heran, tetapi ini Nora, begitu pikir Hasna. Anaknya ini memang tidak bisa diam kalau sudah menyetel musik,  sampai pernah tetangga sebelah marah karena bapak yang punya rumah sedang sakit gigi. Mendengar suara dari rumah Hasna tentu membuatnya tambah cenat-cenut.

"Nora nggak ngapa-ngapain kok, cuma nyetel musik aja." Nora kini terbaring di kasur, dengan selimut menutupi hampir seluruh badannya. Sebenernya dia tidak sakit, hanya kaget saja ada yang lewat.

"Masih alasan saja kamu." Hasna menampar paha Nora pelan. "Kamu ini, kita baru pindah, harusnya tuh salam dulu sama yang punya rumah. Ini belum apa-apa udah nyetel musik keras banget, Ayah sama Ibu aja dengar dari bawah. Pantas aja yang punya rumah marah."

Waduh, Nora berasa melihat seorang rapper sedang konser. Ibunya kalo sudah mengomel, rapper kelas dunia saja kalah. Tanpa titik koma, langsung bablas sampai ujung ngomongnya.

"Udah ya, Ibu turun dulu. Itu Ayahmu masih mindahin koper, kalo ada apa-apa langsung teriak aja."

Nora menggeliat di balik selimut, gerah banget. Dia meraih ponsel yang ada di meja samping ranjang, melihat sebuah aplikasi berlambang W. Scroll sana-sini, gadis itu nyengir sendiri, seramnya menyaingi demit kalo kata Hasna.

"Buset, ganteng banget si oppa," katanya sambil cekikikan.

Matanya masih fokus menatap layar gawai saat keychain di atas mejanya terjatuh. Nora membeku sejenak, mau melirik takut, tidak dilirik makin takut. Memberanikan diri, Nora menoleh pelan-pelan, dan apa yang terlihat di sana tidak bisa membuatnya berteriak.

De-demit?!

Demi Tuhan, Nora ingin menangis saat wajah itu nyaris menyentuh hidungnya. Wajah di depannya pucat sekali, cairan hitam tampak mengalir dari sela-sela rambut hitamnya. Mata itu tampak kosong walaupun bibirnya tersenyum miring, tampak seperti mengejek Nora yang tidak bisa apa-apa.

Kenapa tubuhnya tidak mau bergerak? Kenapa ini?

"Lancang sekali kamu."

Suara itu pelan dan rendah, tetapi efeknya membuat sekujur tubuh Nora gemetaran.

Sosok itu menjauhkan wajahnya dari Nora, tetapi tidak bertahan lama saat dia kembali mendekat. Bibirnya mendekati telinga Nora, lantas berbisik, "Dor!"

"IBUK!"

Something Only We Know Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang