Masih Tentang Luka

68 14 0
                                    

Ibu terdiam. Tangannya sibuk memilin ujung mukena yang dia kenakan, sedang matanya menatap nanar ke arahku.

"Siapa yang cerita, Nak? Mertuamu?" bisiknya dengan suara parau.

Aku mengangguk pelan. "Ibu mau cerita?"

Ibu mendengkus "Ibu tidak tahu harus cerita dari mana." Suara itu terdengar bergetar. "Ibu sudah mengubur cerita itu dalam-dalam. Mengakhirinya entah sejak kapan. Tapi ...." Dia terdiam, lalu menunduk, menatap jemarinya yang tak bisa berhenti memilin.

Dengan cepat aku meraih tangan itu. Menciumi jemari lentiknya yang mulai keriput seraya terus meminta maaf.

"Bukan maksud Tikah mengorek luka lama, Bu," ucapku lirih.

Ibu menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Ibu tahu, Nak. Ibu tahu. Ibu hanya ingin memberi waktu untuk diri Ibu sendiri. Ibu ...." Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam lalu terisak.

Aku terkesiap. Cepat kudekap tubuh perempuan paruh baya itu.

"Tikah minta maaf sudah bikin Ibu nangis hari ini. Tikah--."

Ibu tertegun. "Apa?"

"Tikah minta maaf sudah bikin Ibu nangis hari ini."

Pelan, kepala Ibu terangkat. Wajah itu basah. Hidung itu memerah. Dan mata itu menatapku, lekat. Lalu tangan itu ….

Perlahan pelukan kami terlepas. Tangan keriput yang tadi aku genggam, pelan-pelan merekaberubah. Kerutannya memudar, berganti kulit putih bersih yang kencang. Sesaat kemudian, aku mendengar suara itu. Suara tangis yang samar. Awalnya hampir tak terdengat, lalu terdengar jelas. Semakin jelas, dan akhirnya sangat jelas.

"Ibu, Tikah minta maaf sudah bikin Ibu nangis hari ini ...."

Leherku tercekat.

Apa ini tidak salah? Suara yang keluar dari mulutku, terdengar berbeda dan intonasinya ...?

Ibu menghela napas pelan. Dia merengkuhku dalam pelukannya. Lalu mengucap maaf berkali-kali. Suaranya yang bergetar, menggema berulang kali di telingaku. Begitu jelas, lalu samar, lalu jelas lagi, lalu samar lagi. Terus berulang. Pelan aku pun menatap sekeliling ruangan. Cat tembok kamar yang semula berwarna krem, perlahan memudar, berganti warna abu-abu muda. Pun, pigura besi yang membingkai foto keluarga kecil kami, berubah perlahan menjadi pigura kayu berwarna putih. Jam dinding estetik pemberianku lima tahun lalu pun, berganti menjadi jam antik dengan lonceng besar yang suaranya nyaring membangunkan seisi rumah saat jarum panjangnya menyentuh angka dua belas. Ranjang besi berukir, nakas kayu dengan lampu kecil, dan karpet merah tua di bawah kakiku. Aku terkesiap.

Aku mengenali ruangan ini. Tapi bagaimana mungkin? Ini kamar yang Ibu gunakan saat aku masih kecil dulu. Lalu, di mana kamar yang selama ini Ibu gunakan? Di mana gorden hijau kesukaannya?

"Tikah minta maaf sudah bikin Ibu nangis hari ini."

Hei, itu memang suaraku!  Pantas saja aku seperti mengenal suara itu, juga kalimat itu. Ternyata, itu memang suaraku!

Ibu menoleh, menatap ke arahku. Wajah itu. Mata itu. Pipi itu. Ya Tuhan, dia begitu cantik. Hidung bangirnya yang merah, sedikit pun tidak mengurangi kecantikannya

Gemetar, tangan Ibu bergerak. Meraih tubuhku ke dalam dekapannya, lalu menyentuh pipiku. "Hei! Ibu ga apa-apa," ucapnya seraya mengusap air mata di pipinya sendiri. "Tikah lihat, Ibu cuma kelilipan." Dia terlihat berusaha keras untuk tersenyum.

Aku menengadah. Menatapnya dengan pipi berlinang air mata. "Tikah janji, Tikah ga akan nakal lagi, Ibu."

Tawa Ibu terdengar. Sumbang dan sepertinya dipaksakan. Seraya memeluk erat tubuh kecilku, dia berkata, "Putri Ibu tidak pernah nakal, kok. Putri Ibu, anak soleha, bukan anak nakal."

KALAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang