2 - Mata-Mata

67K 4.2K 129
                                    

Angkasa melirik Nabila yang sedari tadi terus diam. Berbanding terbalik dengan sikap penuh konfrontasinya beberapa menit yang lalu ketika mereka berseteru mengenai motor gadis itu. Sekarang Nabila hanya memandang keluar jendela dengan lengan yang memeluk diri sendiri. Tidak peduli pada Angkasa yang sejak tadi berusaha mencari bahan pembicaraan.

Angkasa mengira Nabila akan berteriak marah dan mencakar wajahnya setelah ia menciumnya dengan dahsyat seperti tadi. Yang di dapat pria itu benar-benar di luar ekspektasi. Semakin pusing saja kepala Angkasa. Serba salah. Ia yakin sebelum memaksa Nabila masuk dalam mobil, gadis ini melunak dan membiarkan Angkasa menciumnya leluasa.

Well, Angkasa masih ingat jelas rekam jejak ciuman yang mereka lakukan tadi. Bibir yang berwarna merah pucat itu serasa meleleh ketika ia melumatnya. Angkasa mengira-ngira kapan ia bisa merasakan bibir itu lagi.

"Rumahmu di mana?" tanya Angkasa hati-hati. Ia bingung harus membawa gadis ini ke mana karena ia terus saja diam.

Nabila menoleh dan menyebutkan alamatnya. Kemudian kembali pada keasyikannya menatap keluar jendela. Pikirannya terbang pada suatu masa di mana ia begitu merasa takut. Bukan berarti Nabila menganggap Angkasa sebagai sumber ketakutan itu saat ini. Hanya saja, Angkasa membangkitkan sesuatu yang telah lama berusaha Nabila lupakan.

Tangannya yang gemetar ia gunakan untuk memeluk dirinya sendiri sehingga lelaki di sampingnya tidak menyadari. Sudah cukup ia terlihat bodoh dengan memasrahkan diri ketika Angkasa menciumnya. Ia tidak mungkin terlihat takut saat ini.

Satu jam perjalanan yang begitu hening berakhir ketika mobil Angkasa berhenti di sebuah rumah minimalis modern dengan cat berwarna ungu. Rumah Nabila. Gadis itu langsung turun tanpa mengucapkan terima kasih. Tubuhnya memang sudah lelah setelah menjalani tugas hari ini.

"Saya butuh nomor teleponmu," ucap Angkasa menghentikan langkah gontai Nabila. Pria itu sudah keluar dari mobilnya dan berjalan dengan gayanya yang luar biasa tampan mendekati Nabila yang tampak begitu lemah.

"Buat apa?"

Angkasa menarik senyum kecil mendengar nada sinis dari dua kata yang diucapkan Nabila.

"Motormu. Kamu tidak butuh motormu dikembalikan, hm? Saya lihat kamu begitu menyayanginya hingga tidak mau naik ke mobil tadi." Angkasa berusaha memunculkan pembicaraan. Antara merasa bersalah dan kesal dalam waktu yang bersamaan.

Memang tidak seharusnya ia mencium gadis ini seperti tadi. Mereka baru bertemu lima menit. Dan dengan gilanya, Angkasa sudah berhasil mencuri ciuman Nabila. Memang ada gairah di sana, tapi yang lebih mendominasi adalah emosi dan kehabisan kata-kata atas sikap menyebalkan Nabila. Juga kemiripan perempuan ini dengan seseorang yang pernah ia kenal dulu, ucap Angkasa dalam hati.

"Tidak perlu repot-repot menghubungi saya. Kamu tahu di mana saya tinggal. Taruh saja motor itu di sini. Selesai urusan!" jawab Nabila ketus. Ia sudah ingin berpaling namun Angkasa kembali bicara.

"Kalau begitu, beritahu siapa namamu."

Angkasa tersenyum kecut dalam hati terhadap sikapnya yang kelewat murahan begini. Biasanya wanita yang menanyakan namanya, kenapa jadi ia yang bertanya begini?

Untuk beberapa saat Nabila hanya memandangi Angkasa. Menilai apakah orang ini bisa dipercaya untuk mengetahui namanya.

"Nabila." ucap gadis itu pada akhirnya.

Angkasa tersenyum, "Nama saya Angkasa."

Nabila mengangguk sopan dan berpaling. Membuka pagar mini rumahnya dan menghilang dibalik pintu kayu. Membiarkan Angkasa yang tersenyum getir mendapati penolakan dari Nabila. Ia menggeleng kecil dengan senyuman penasaran dan masuk kembali dalam mobil. Besok ia akan mendapatkan seluruh informasi tentang Nabila di mejanya.

Sweetly BrokenWhere stories live. Discover now