Gracia : Takut

418 50 28
                                    

...

a/n : Judulnya Gracia doang karena Shani cuma sedikit sekali masuk part ini, sebenernya kebanyakan Gracia, Chika dan Azizi yang muncul.

Fyi, yang aku italic itu adalah flashback, dan yang enggak aku italic adalah part lanjutan di chapter 18. Jiwa-jiwa yang Kosong dalam work Pendulum, bagian Chika dan Gracia deep talk itu.

Mungkin ini agak membingungkan, tapi, semoga kalian ngerti ya. Huhuhu.

...


"Gue boleh masuk?"

Azizi Djatmiko yang sedang duduk di kursi kerjanya menoleh pada sang kakak yang berdiri di depan pintu. Sebenarnya malas sekali ia menanggapi Gracia—jangankan Gracia, siapapun yang ada di rumah ini, Azizi sedang enggan bicara.

"Itu udah masuk." Azizi mengangkat satu alisnya.

"Oh, hehe." Gracia cengengesan, kemudian duduk di bibir ranjang, menatap sang adik yang sedang menonton sesuatu di laptop-nya. "Lagi apa?"

"Lo punya mata?" Tanya Azizi lagi, menatap Gracia dengan acuh tak acuh, kemudian kembali konsentrasi pada tontonannya dan semangkuk mie rebus di tangan.

"Lagi nonton, iya gue tahu." Gracia anggukkan kepala. "Marsha—"

"Lo kalau mau bahas cewek orang enggak usah di sini, ada tempatnya, nanti. Di meja makan sama ular-ular terhormat."

"Jangan sewot gitu dong, gue cuma mau tanya apa kabarnya doang. Masih sama Oniel?"

"Menurut lo?"

Gracia menggigit bibirnya. Kalau bukan adiknya dan bukan hal penting, sepertinya ia pun ogah untuk ada di kamar anjing geladak ini.

Hubungan mereka yang pernah sedekat nadi, menjadi sejauh matahari—dan Gracia baru sadari sekarang ini, bahwa Azizi makin jauh dari dirinya. Mungkin kejadian itu belum bisa dimaafkan oleh Azizi—ya, Gracia yakin sekali.

"Lo kapan mau ngomong sama Papa, kalau kalian berdua selama ini... cuma sandiwara?"

"Bukan urusan gue. Itu kan rencana tolol lo sama Marsha. Ngapain gue ikut-ikutan." Azizi mengangkat bahunya.

"Gue tuh sayang banget tahu sama kalian berdua, sama lo tentunya. Kalau enggak kayak gini—mana mungkin—"

"Lo habis ini mau apa? Nyuruh gue bilang makasih? Gue harus membalas budi? Gre, gue bilang dari awal, gue tuh enggak punya rasa sama Marsha dan gue bisa ngatasin masalah gue tanpa kalian ikut campur, terutama Marsha yang tololnya enggak pernah expired itu." Azizi mengembuskan napasnya tepat layar laptop itu ditutup dengan kasar. "Lo ngancurin mood gue. Mending minggat sana, gue muak liat muka lo."

"Kalau enggak ada rasa, enggak perlu berapi-api gitu dong kalau gue bahas. Tolol tolol gitu, dia berguna buat hidup lo. Lo enggak akan kayak sekarang—"

"Bangsat." Desis Azizi dengan muak. "Mau sampai kapan gue membalas budi sama Soenarjo Soenarjo itu sih? Semuanya selalu soal balas budi—"

"Lo sok idealis. Dikasih previlage bukannya bilang makasih—"

"Makasih!"

"Zi..." Gracia menggeram. Dia sudah kehabisan kesabaran sekarang ini, tapi, sekali lagi, kebutuhan akan sebuah informasi membuat kembalo tertahan ada di di tempat ini. Bagaimanapun... ia harus... ya, harus. "Gue cuma mau tanya—"

"Lo udah tahu jawabannya!" Azizi membentak dengan oktaf suara yang sangat tinggi sekali.

Ketegangan di antara mereka berdua makin menjadi, untungnya, bunyi deritan pintu—membuyarkan mereka. Azizi kembali berdecak, ketika perempuan berambut cokelat menyembul dari sana.

Kenapa Bukan Kita?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang