Setan di Cermin

10 3 11
                                    

Aku melihat sesosok setan di cermin saat cuci muka pagi ini. Serupa orang, hanya saja kulitnya merah dan ada sepasang tanduk di kepalanya—tak jauh beda dengan penggambaran setan dalam kisah-kisah klasik atau logo Manchester United.

Sialan, aku terlalu banyak minum di Notty's. Bangun tidur kepalaku sudah serasa mau pecah. Masih untung aku tak kesiangan. Persetan dengan penampakan setan di cermin—pasti itu cuma mataku saja yang masih buram gegara gangguan pasca-mabuk.

Kusiapkan sarapan sendiri: secangkir kopi dan telur dadar yang digoreng sekenanya. Sedikit kalori cukup untuk menstarter kembali otakku agar siap bekerja. Kebanyakan kalori malah bisa bikin kantuk.

Usai sarapan, aku bersiap-siap dan berangkat. Sepanjang jalan kulihat wajah-wajah orang dengan kehidupannya masing-masing: riang atau muram, kaku atau luwes. Mereka tak ada hubungannya denganku. Aku punya kehidupan sendiri yang lebih penting.
Hari-hari di kantor sama saja dengan hari-hari lainnya. Hari yang hanya diisi dengan pekerjaan mekanis yang sama sejak pukul delapan pagi hingga delapan malam. Banyak orang yang bosan dan lelah lalu keluar—dengan alasan mencari penghidupan yang lebih baik meski belum tentu mereka bisa mendapatkannya di luar sana selain di sini. Di luar sana semuanya serba tidak pasti. Sedangkan di sini, semuanya pasti—sepasti pekerjaan mekanis rutin tiap pukul delapan pagi hingga delapan malam. Orang lain mungkin melihat hal rutin nan mekanis ini membosankan, tapi aku membutuhkannya. Aku tak bisa hidup tanpa pola, rutinitas, dan kepastian.

Mischa, tetangga bilik kursiku, tiba-tiba menceletuk, "Eh, aku habis dimarahi istriku habis-habisan pagi tadi. Gara-garanya, dia habis mimpi aku selingkuh! Gila, coba. Padahal cuma mimpi malah jadi masalah!"

"Memangnya kamu sendiri nggak pernah selingkuh?"

Dia tertawa saja. Tanpa dijawab pun aku tahu dia tak pernah selingkuh. Mischa memang pria baik yang lurus-lurus saja, tapi nampaknya dia mulai gerah dan kesal dengan ulah istrinya.

"Coba saja selingkuh sekali-sekali. Hidup cuma sekali, maka nikmatilah. Lagipula, 'kan lebih pas kalau istrimu marah gara-gara kamu selingkuh betulan, daripada gara-gara dia mimpi kamu selingkuh." kataku.

Mischa tertawa lebih keras—untung tidak sampai ketahuan penyelia. Dia mungkin mengira aku bercanda. Namun, aku tahu sebetulnya dia sedang sungguh-sungguh mempertimbangkan ucapanku itu.

Saat jam istirahat tiba, aku ke kamar mandi untuk cuci muka. Di cermin kamar mandi, sosok setan merah Manchester United itu tampak lagi. Sialan, apa dia mengikuti aku jalan jauh sampai di kantor? Persetan. Bekerja jauh lebih penting ketimbang memikirkan penampakan setan.

Namun, tak bisa dipungkiri: andaikan aku sedang tidak bekerja saat melihat setan itu, aku bakal ketakutan setengah mati. Karena otakku penuh dengan pikiran untuk bekerja dan bekerja, maka ketakutanku terkesampingkan dengan sendirinya. Kali ini memang betul, pekerjaanku menyelamatkanku—dengan satu atau lain cara.

Jam kerja telah usai. Aku hendak keluar gedung ketika kulihat Yuana si sekretaris lugu berdiri di koridor. Dia nampak takut dan stres—wajahnya pucat, kakinya agak gemetar. Ada sepasang gunting biru besar di tangannya.

"Kenapa belum pulang?" tanyaku padanya.

"Masih menunggu Pak Bos." jawabnya lirih.

Terlihat sosok Pak Bos di sudut seberang, sedang asyik mengobrol dengan sesama sobat korporat. Suaranya keras serak-serak, diselingi tawa terbahak tanpa rem—sangat mengganggu. Dia biasa mengacung-acungkan telunjuknya ke lawan bicaranya, seolah siapapun yang bicara dengan dirinya adalah budaknya. Memang dia seorang Bos sejati—bila saja definisi bos adalah sama dengan majikan yang memecuti budak-budaknya agar bekerja lebih keras dan lebih keras sampai-sampai maut harus menjemput mereka sepuluh tahun lebih awal.

Tiba-tiba Yuana berbisik padaku, "Aku ingin sekali membunuhnya."

Aku tak kaget dengan perkataannya itu. Kujawab, "Yah, memang dia brengsek. Kita semua di kantor ini tidak ada yang tidak ingin membunuhnya. Tapi coba pikir lagi, kalau sudah begitu, mau kerja apa kita?"

Yuana terdiam. Aku melanjutkan, "Meski begitu, Pak Bos memang sangat pantas mati."

Wajah Yuana masih saja pucat. Parasnya yang begitu lugu amat menggoda, membuatku begitu ingin mengecup bibirnya—tapi tentu saja itu bukan opsi aman. Bagaimanapun, aku tetap ingin menggoda dan menjailinya.

Maka, kukatakan padanya, "Bunuh saja dia. Seperti yang kubilang tadi, Pak Bos itu memang orang yang pantas mati. Rasa-rasanya, guntingmu itu cukup pas untuk menusuk daging. Dah, sampai ketemu besok."

Kutinggalkan Yuana di koridor. Dia masih gemetaran.

Keesokan paginya, saat aku cuci muka di wastafel kamar mandi apartemenku dan bercermin, sesosok setan merah itu muncul lagi—penampakannya tercermin di kaca. Kuabaikan setan itu, aku tak ambil pusing. Mungkin ini sekadar stres kerja saja, lama-lama penglihatan aneh ini pasti hilang sendiri. Lagipula, aku sangat lapar.

Kubuat sarapan seadanya. Masih secangkir kopi dan telur yang digoreng seadanya, tapi kali ini dengan roti tawar—sehingga jadilah sandwich ala kadarnya. Untuk hari ini, aku merasa butuh tambahan kalori. Aku takut kalau-kalau setan itu muncul lagi dan kalau aku kehabisan tenaga untuk menghajarnya (atau lari darinya)—tentu itu tidak lucu. Nyata ataupun tidak, sosok setan di cermin itu mulai sangat mengganggu benakku.

Aku berangkat ke kantor. Entah kenapa, perasaanku tak enak.

Terjadi huru-hara di kantor. Tempat kerjaku diamankan dan diisolasi—ia telah menjadi tempat kejadian perkara. Tampak satuan kepolisian bekerja mengolah TKP dan mencari barang bukti. Siapakah gerangan yang mati? Apakah Pak Bos?

Aku dan pegawai-pegawai lainnya dimintai keterangan oleh polisi, satu demi satu. Lalu tiba giliranku. Pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan, hingga pada pertanyaan-pertanyaan klise. Setidaknya, dari situ aku tahu bahwa memang Pak Bos telah tewas dengan gunting menancap di dadanya.

"Di mana Anda berada pada waktu sekitar pukul sembilan malam kemarin?"

"Saya sudah pulang dari kantor."

"Apakah Anda telah memprovokasi orang-orang di sini untuk membunuh bos Anda?"

"Tidak. Saya tidak tahu apa-apa."

Hening sejenak. Bapak polisi gemuk yang menanyaiku mondar-mandir di ruangan. Apakah dia mencari inspirasi untuk pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, atau berharap perut buncitnya bisa agak mengecil dengan berjalan mondar-mandir begitu, aku tak tahu.

"Jangan-jangan, Anda sendiri yang membunuhnya."

Sesi tanya jawab langsung bergeser jadi sesi menuduh.

"Bukan saya."—jawaban klise untuk pertanyaan klise.

Giliranku selesai. Aku dibolehkan pulang. Hari ini adalah hari yang aneh, tapi aku sama sekali tidak terkejut.
Secara faktual, sudah ada orang yang mati akibat pengaruh dari perkataanku. Orang lain mungkin sudah merasa sangat bersalah. Namun aku sendiri, sama sekali tidak.

Aku lelah sekali. Sesampainya di rumah, aku langsung cuci muka untuk mengurangi kantuk. Kemudian aku memandang cermin wastafelku.
Sosok setan itu masih ada di sana. Hanya saja, penampakannya jauh lebih nyata ketimbang sebelumnya. Wajahnya jelek dan beringas, dengan sepasang tanduk kambing di kepala, mata kuning yang membara seperti kobaran api, dan gigi-gigi tajam yang di sela-selanya mengalir liur busuk.

Ketika aku menolehkan muka, setan itu ikut menolehkan muka. Ketika aku membuka mulut, ia ikut membuka mulut. Saat aku menggosok gigi, ia juga ikut menggosok gigi.

Bajingan. Setan Manchester United itu aku.

Sepanjang malam itu, kami tertawa terbahak-bahak seperti kesetanan.

Setan di CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang