Gender neutral reader (mau jadi cowo apa cewe silakan), 🔞
Palu diketuk
Putusan telah dijatuhkan.
"Potong."
Kepalaku tunduk
Lalu aku dipaksa untuk berlutut
Ada dua bayangan hitam dari kejauhan
Dua algojo
Berdiri di belakangku
Seorang mencekal erat sayapku yang kuyu
Seorang lagi mengangkat kapak
Bilahnya bersinar tatkala ditimpa cahaya
Tajam. Luar biasa tajam.
Satu tarikan napas kuambil.
Satu embusan napas kukeluarkan.
Dan aku tersungkur bersimbah darah.
•••
Sudah lama nian ku tak terbang, menari bersama bintang-bintang. Kini kuhanya bisa diam memandanginya dari tempatku bersandar. Dari tempat yang bilamana esok hari tiba kakiku akan bergumul dengan embun pagi di antara rerumputan. Dan tanah menempel di sela jemari kaki, seraya merasakan segar dari udara yang belum tercemar.
Tapi malam ini aku tak bisa melakukannya. Tidak kala sang penguasa jagad raya mencemeti angkasa. Dan gemuruh menyapa gendang telinga. Pertanda akan tumpah ruahnya air dari atas sana. Lagipula, mendung sudah sedari tadi tertangkap oleh mata. Dan aku lebih suka bergumul dengan kasur dan bantal ketika masa itu tiba.
•••
Padanya yang terbang tinggi di angkasa
Padanya yang pernah kutambatkan iri
Padanya aku mereda
Padanya pula kutemukan suaka
•••
Hempasan angin dari kepak sayap merah menggelitik wajahku sore itu. Kupejamkan mata, dan kuulas senyum kala bulu-bulu lembutnya kembali menyapu sisi tubuhku.
Dekat. Dekat sekali.
Jemarinya berlabuh pada pelipisku, menelusurinya hingga batas telinga, dan anak rambutku diselipkannya ke belakang.
Kupikir ia akan berhenti di sana. Tapi tidak, ibu jarinya mengusap garis rahangku sampai ke dagu. Tawakupun lolos.
"Oh, Keigo."
Dalam pejaman mataku kurasakan Keigo balas tertawa kecil, embus napas hangatnya menerpa wajahku. Dan aku terhenyak kala ujung hidungnya membentur milikku.
Buru-buru sekali.
Kubuka mataku, dan kutemukan dia mendengus geli. Senyum simpul terbit pada wajahnya yang rupawan.
"Aku merindukanmu."
"Benarkah begitu?" tanyaku retoris, lalu kunaikkan kacamatanya pada helai pirang yang tengah kuusap.
"Hmm...." Keigo merapatkan tubuhnya padaku, lalu menunduk.
Kurasakan darahku mengalir lebih cepat, dan hangat menjalar di kedua pipi. Aku tersipu pada sentuhan bibirnya.
"Menurutmu?" tanyanya.
Mulutku terbuka hendak melemparkan balasan, namun Keigo lekas membungkamku dengan ciuman.
•••
"Putar tubuhmu, Sayang."
Aku mengerang, pegangan tangan di pinggangku semakin mengencang. Dan dalam satu tarikan, tubuhku berubah haluan. Aku menatapnya yang bersimbah peluh, tepat pada sorot matanya yang tertutup kabut.
Napasku seakan dicabut pada setiap entak pinggulnya, pada setiap sentuhan yang ia labuhkan.
"Keigo..."
Kututup mataku dengan lengan, dan satu sentakan memaksaku kembali untuk membukanya.
"Jangan...ditutup." Pintanya di sela bunyi kecipak basah.
Keringat sebesar biji jagung jatuh di dekat pusar, jemari Keigo kembali menjamah perutku. Bermain sejenak pada kuncup dada, dan terus naik hingga belakang kepala.
Aku merintih.
Kurasakan napasnya memburu di ceruk leherku, begitu pula denganku.
"Ngh, Keigo...lebih cepat." Bisikku parau.
Tubuhnya sepanas bara api, licin dan mengilap oleh keringat. Kulingkarkan lenganku pada lehernya, pun kedua kakiku pada pinggangnya. Sayapnya terbentang hingga ke tepi ranjang, mengungkungku dengan warna merah.
Keigo menggeram, kuloloskan desah panjang. Ia membawaku ke puncak nirwana.
•••
"Matahariku." Begitu katamu.
Kau anggap aku bintang
Kau cintai aku saat kubersinar
Kau cintai aku saat kumeredup
Kau cintai aku dalam ledak supernova
Maka kucintai kau dengan cara yang sama pula
•••
Kulabuhkan jemari pada selangka dan belikatnya. Kutelusuri pula garis punggungya. Mengusap parut demi parut yang terlukis malang melintang. Kuusap pula barut panjang pada tempat yang seharusnya ditumbuhi sayap.
Keigo masih lelap dalam pelukan Morpheus. Sepasang netra emasnya masih terkatup rapat. Kusibak pelan rambutnya, ada parut juga di wajahnya. Kucium dahinya, matanya, hidungnya. Keigo masih tampan, bagiku ia selalu tampan.
Keigo bergumam pelan, kernyit di dahi muncul kemudian.
"Selamat pagi, Keigo."
Sapaanku ia balas dengan kerjapan mata. Lucu.
Manik emasnya masih malu-malu menampakkan diri, bersembunyi di balik lentiknya bulu mata.
"Bangunmu pagi sekali."
Matanya setengah terbuka, kantuknya belumlah sirna. Kupandangi wajahnya seraya melengkungkan senyuman. "Hmm, nggak juga. Mataharinya udah terbit daritadi, loh."
Tubuhkupun dipeluknya erat, "balik tidur lagi aja."
Kuusap lembut rambutnya. "Masa kalah sama ayam."
"Ya...nanti ayamnya kugoreng aja biar menang."
Aku tergelak. "Mana boleh begitu."
Keigo mengerang. "Oh, ayolah, sekali-kali bangun siang."
"Iya, deh. Iyaa." Ucapku mengalah.
Seringai puas seketika terbit di wajah Keigo.
"Puas, hmm?"
"Banget." Balasnya pelan. Redam oleh benaman kepalanya pada dadaku.
Kucium puncak kepalanya dan lekas memejamkan mata.
•••
Kalau aku mataharimu, kuingin kau jadi Icarusku. Kucecap tawa dan tangismu layaknya kucecap nektar dan ambrosia. Tapi tak seperti matahari, takkan kucerai-beraikan sayapmu. Takkan pula kuberdiam diri menyaksikanmu tenggelam. Dan pada saat kau jatuh, aku ada di sana untuk menangkapmu.
end.
Sekian dan terima gaji :)
YOU ARE READING
Fantasia (Anime × Reader)
FanfictionYuk, mampir yuk! Mari berfantasi bersama. Oneshot collection bersama para husbu tercinta. ⚠ Beberapa chapter mengandung konten dewasa