Ketika Ibu Ingin Bercerai

137 24 4
                                    

Sejak semalam, suasana rumah ini terasa lebih ramai dari biasanya. Tiga orang bocah berlarian ke sana ke mari seraya tertawa dan berteriak keras memekakkan telinga. Teras samping yang biasanya tak tersentuh, malam ini berubah menjadi arena kemping anak-anak. Sebuah tenda berukuran besar berdiri gagah di sana.

Dua hari lalu, aku dengan sengaja meminta adik juga kakakku untuk datang. "Ada yang harus kita bicarakan perihal Ibu dan Ayah," tulisku di chat pribadi dengan mereka. "Dan tolong jangan bahas ini di grup. Aku tidak mau mereka tahu," tambahku lagi. Saat mereka bertanya ada masalah apa? Aku kembali tegas berkata, "Kita bicara sesudah bertemu."

Jaya--kakakku- sempat menebak, "Mungkin ini berhubungan dengan ulang tahun pernikahan Ibu. Bulan depan, kan?"

Tapi Fatma--si bungsu--membantah, "Ga mungkin, Bang. Firasat aku, ada masalah lain. Dan itu sepertinya besar."

Fatma benar!

Pagi hari di meja makan, sesuai menyantap soto Bogor hasil olahan tangan Erika--kakak iparku-aku pun mulai angkat bicara. Tanpa basa-basi, dan tanpa keraguan. "Ibu minta cerai!"

Sontak, semuanya berteriak, "Apa?" Dengan mata terbelalak.

"Alasannya apa, Kak?" Fatma bertanya. Sedangkan Jaya tampak tertegun.

Aku menggelengkan kepala. "Kakak sudah mencoba mengorek alasan Ibu. Sudah bicara juga ke Ayah. Tapi mereka tetap tak mau bicara. Bahkan, Kakak mengingat-ingat semua kejadian. Semuanya. Sekecil apa pun itu. Tapi tetap tidak ada jawaban."

Fatma tampak mengingat-ingat. "Aku ga pernah melihat Ibu dan Ayah bertengkar."

"Aku pun." Bahkan sekuat apa pun aku coba mengingat, tak sedikit pun terlintas dalam ingatan kenangan mereka pernah bertengkar. Dari aku kecil, sampai detik ini.

Di antara kami bertiga, aku memang anak yang paling dekat dan paling lama tinggal dengan kedua orang tua kami. Pernikahanku yang sedikit terlambat-atau sangat terlambat?--membuatku harus tetap tinggal di rumah. Jaya menikah sembilan tahun yang lalu. Sedangkan Fatma menikah lima tahun yang lalu. Dan aku sendiri, baru menikah tiga bulan yang lalu.

Selain hanya aku anak yang bertahan di rumah cukup lama, aku juga yang selalu menjadi tempat ibu dan ayah bercerita jika ada masalah. Dan selama ini--sejauh yang aku tahu--memang tidak pernah ada masalah besar di antara kedua orang tua kami.

Di mataku-dan aku yakin di mata Jaya mau pun Fatma-Ibu adalah sosok yang sangat penyabar. Jarang sekali kami melihat Ibu marah. Kesalahan sebesar apa pun yang Ayah, atau kami lakukan, Ibu hanya menanggapi dengan senyuman. Selebihnya, beliau hanya menasehati kami, dengan lemah lembut tentunya.

Sedangkan Ayah, dia sosok lelaki yang sangat bertanggung jawab. Menyayangi keluarga, juga tidak pernah banyak tingkah. Bahkan juga tidak pernah banyak bicara. Sifat Ayah lebih seperti kulkas satu pintu. Dingin, dan kadang beku tak tergoyahkan, seperti bunga es di dalam freezer.

Apa mungkin itu alasan Ibu meminta cerai? Karena Ayah terlalu dingin? Tapi, di usia pernikahan mereka yang sudah tiga puluh lima tahun? Ini tidak masuk akal!

"Aku pernah melihat mereka bertengkar."

Sontak aku menoleh, menatap Jaya.

"Oya? Kapan?" Fatma tampak sangat terkejut.

Jaya menghela napas berat. "Waktu itu ...." Dia mengingat-ingat. "... mungkin, aku masih kelas lima SD."

Ah, rasanya lega. Kejadiannya sudah sangat lama.

Jaya tersenyum tipis.

"Abang kelas lima SD, aku masih TK, dong?"

Jaya menoleh ke arah Fatma. "Ya. Aku ingat betul. Soalnya hari itu, aku yang antar dan jemput kamu sekolah. Seharian Ibu ga mau ke luar kamar."

KALAH Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin