Chapter 1 : First Impression

77.7K 4.4K 22
                                    

Ali berdecak kesal, menatap begitu banyaknya angka merah di rapotnya. Kecewa, malu, kini bergelut menjadi satu. Belum lagi sikap dan kepribadiannya yang seringkali mendapat nilai C di rapor. Memalukan, jika mengingat status dirinya yang menjadi putra tunggal komite sekolah. Entah sejak kapan, namun pandangan hidupnya mulai berubah. Prestasi, reputasi dan juga eksistensi kini bukan menjadi prioritas utamanya. Ali lebih suka melakukan hal-hal yang ia sukai dan cenderung membuatnya bahagia seperti contohnya, cari perhatian.

Rapotnya di tahun terakhir sekolah justru sangat anjlok dan memprihatinkan. Ia sudah masuk ke bulan-bulan semester genap, tapi tidak ada peningkatan. Guru-guru sudah menyerah dengan kelakuan Ali, sebenarnya hanya kapitalisme yang menyelamatkan keberadaannya karena Ibunya menyumbang banyak dana untuk pembangunan sekolah.

Back to real life.

Setelah memandangi buku rapotnya yang terbakar, Ali buru-buru menutupnya, memasukkan buku bersampul abu-abu dengan logo almamater di balik bantal. Enggan untuk menunjukkannya kepada Melisa, Ibunya. Harapannya, wanita itu tidak ingat kalau hari ini merupakan tanggal pembagian rapor. Detik selanjutnya, Ali memyambar kunci mobil, lalu melangkah keluar kamar.

"Mau kemana kamu?!" Baru sampai di anak tangga terakhir, Ali sudah di cegat oleh Melisa yang sedang menonton TV di ruang tengah. Gelagatnya terlalu kentara hendak bepergian dengan jacket hitam dan celana jeans biru.

"Main." Jawab Ali, seadanya. lalu, cowok yang rambutnya sedikit berantakan itu melengos pergi tanpa memperdulikan wanita yang mengomelinya habis-habisan.

***

Sapuan awan abu-abu langsung menutupi langit yang tadinya biru cerah. Tetes air langsung berjatuhan satu persatu, lalu disusul dengan ribuan tetes langit lainnya. semua orang yang sedang berlalu lalang di trotoar buru-buru mengungsi ke kios atau ruko-ruko terdekat, guna melindungi tubuh mereka dari hujan yang meskioun sedikit namun tetap merepotkan.

Prilly menjadikan map berwarna merah tua sebagai penutup kepala, menghindari ttitik titik air agar tidak jatuh mengenai kepalanya. Ia buru-buru berlari kecil ke arah halte yang sudah dipenuhi beberapa orang yang sama-sama berteduh. Sekali lagi, Prilly merapikan kemeja putih dan rok hitamnya yang sedikit kusut. Rambut yang tadinya terkuncir satu rapi, kini sudah acak-acakan dengan anak rambut yang membingkai wajahnya.

Prilly mendekap map merah tua tadi. memandanginya lekat-lekat. Begitu besar harapannya untuk bisa bekerja, setidaknya dengan ijazah SMA yang ia punya. Ia butuh uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, belum lagi biaya sekolah adiknya yang sudah menunggak dua bulan. Disamping itu, ia juga tidak mungkin mengambil cuti kuliah lagi, yang ada waktu lulusnya malah semakin molor

"Hujannya kayaknya awet, nih." ujar seorang wanita setengah baya sambil sedikit mengelap bagian lengannya yang agak basah. Prilly menoleh ke sumber suara. Ia pikir wanita ini sedang tidak bicara dengannya. Namun, faktanya, wanita tadi kini sedang melihat ke arahnya. Prilly terlalu gugup jika di tatap seperti itu, akhirnya, hanya senyum tipis dan anggukan yang keluar dri tubuhnya.

"I-iya, bu."

"Dari mana, dek? pulang kerja?" tiba-tiba wanita di sebelahnya bertanya. mereka bahkan belum mengenal satu sama lain.

"Ooh, saya... baru mau kerja."

Dahi wanita itu mengerut. "Baru mau kerja? Ooh, baru lulus?"

Prilly menggeleng kaku. "Nggak bu, udah lulus dua tahun yang lalu."

"Lulus kuliah?"

"Lulus SMA, kalau kuliah... lagi cuti semester genap ini."

Senyum merekah langsung terlihat di wajah wanita yang masih keliatan ayu meskipun ada kerutan-kerutan. "Lalu, lamaran yang sekarang keterima? Wah.. selamat, yaa."

PRIV[D]ATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang