Kaori 0.0

59 17 5
                                    

Kaori tersentak seolah jiwanya dilemparkan kembali ke dalam raga. Pandangan matanya yang buram dengan perlahan menyesuaikan cahaya, mulai mampu menangkap warna dan bentuk benda yang terperangkap pandangan. Gadis itu mengatur napas seraya menganalisis sekitar, berusaha menolehkan kepala ke arah yang berlawanan. Tubuhnya yang telungkup sempurna membuatnya perlu mengeluarkan tenaga ekstra dan waktu yang lebih lama untuk mengidentifikasi wujud seluruh ruangan.

Ruangan yang luas dan mewah dengan berbagai perabotan dan guci-guci mahal. Kaori tidak yakin pernah melihat tempat ini sebelumnya. Ia yakin ini bukan akhirat, karena tidak mungkin luka tubuh akan terbawa hingga ke sana. Dadanya dililit perban dengan rasa nyeri yang masih menusuk hingga ke jantung.

Tempat ini juga jelas bukan ruang kesehatan akademi yang sudah Kaori hafal hingga tiap jengkalnya. Kaori bahkan tidak yakin ia masih berada di wilayah Acacio karena suhu udara, suasana, dan bau angin yang ia rasakan saat ini terasa berbeda dengan nuansa Acacio—yang cenderung lembab dan bau dedaunan serta tanah basah.

Meski di sini wangi oleh wewangian yang manis dan juga dupa, tetapi dari jendela yang terbuka, terembus bau tanah yang kering disertai bau teriknya matahari, bau dedaunan yang kurang air, serta sayup-sayup bau mesiu.

Tunggu,

Mesiu?

Rasa ngeri merambat ke seluruh tubuh Kaori dan memperjelas nyeri di punggung. Tubuhnya seolah tersetrum listrik dengan voltase tinggi. Gadis itu menggertakkan gerahamnya dan mengepalkan kedua tangan untuk mencari kekuatan, kemudian berusaha duduk melawan seluruh perasaan.

Meski tidak pernah melihat ruangan ini sebelumnya, kini, setelah duduk, Kaori merasa mengenali kamar yang terasa familiar. Cat dinding berwarna putih tulang dan guci-guci tinggi dari keramik, juga jendela tinggi dari kayu yang khas bercat kuning pucat, hanya satu rumah yang Kaori tahu dan rumah itu adalah milik kenalan ayahnya.

Setelah mengumpulkan tenaga, Kaori perlahan turun dari ranjang. Setiap gerakan di tubuhnya memicu rasa nyeri di punggung yang sempurna terlilit perban hingga dada. Ia melangkahkan kaki menuju jendela yang terbuka, menampakkan halaman luas yang ditumbuhi pepohonan di seberang jauh sana. Beberapa wajah pribumi tampak berlalu-lalang, diantaranya seperti pekerja rumah tangga, yang lain seperti tamu yang memiliki urusan dengan tuan rumah.

Seingat Kaori, kenalan ayahnya—juga ayahnya, memang kerap kali berdialog dengan pribumi berpendidikan tinggi. Namun, baru kali ini Kaori melihat mereka tidak ragu-ragu menunjukkan bahwa mereka memiliki hubungan baik antara satu sama lain. Bahkan meski ini memang masih pekarangan rumah pribadi, biasanya pertemuan dilakukan pada malam atau dini hari ketika semua orang menurunkan kewaspadaan.

"Kaori-san?"

Sebuah suara terdengar tak lama setelah suara pintu berderit terbuka. Suara yang sangat lembut dengan aksen yang tak pernah Kaori sadari ternyata sangat ia rindukan. Gadis itu menoleh, menatap pada sesosok wanita yang berdiri terkejut di ambang pintu, kemudian mengembangkan senyuman dengan segenap kekuatan yang tersisa.

"Konnichiwa, Oba-san."
(Halo/selamat siang, Bibi/Tante)

°†°†°†°

Writer's note:
Buset, wkwkwkw
Sembilan bulan telah berlalu sejak update terakhir kali

[Aku] Tentara LangitWhere stories live. Discover now