4. Ma, Ayo Pulang

15 4 0
                                    

Par 4. Ma, Ayo Pulang!

"Maaf Pak, Buk, tidak mengurangi rasa hormat, Anita tetap tidak ijinkan Aira tinggal disini. Karena anak itu sendiri yang tidak menginginkan. Percaya atau tidak, Anita tidak pernah menyuruh Aira menolak kebaikan nenek dan akung untuk mengasuh. Anita mohon maaf atas keputusan ini."

Mendengar ucapanku, ibuk mertua tampak menyatukan alis tebalnya. Tatapan wajah tajam, aura kebencian menguar.

"Sudah biarin saja, Pak. Mentang-mentang dia akan mendapatkan uang kematian Yudi bisa nyombong. Nanti kalau uang sudah habis juga bakalan menjilat ludah sendiri. Dia bakalan ngemis kita untuk pendidikan Aira. Dia kira biaya pendidikan sekarang murah," dengan gaya khas Ibuk Mertua yang tak bisa slow, aku dihina di depan keluarga Mas Yudi.

Saat ini bila ada cermin wajahku pasti sudah seperti udang rebus berwarna kemerahan. Sekuat yang kumiliki, jangan sampai aku menumpahkan air mata di depan kedua anakku. Aira dan Aera hanya diam. Semoga dia tidak paham dengan ucapan neneknya yang telah menyakiti hati mama mereka.

Aku bukan tak berani membangkang dan membantah omongan yang menyakitkan, aku menjaga untuk tak bertengkar dengan keluarga suami disaat suamiku belum 7 hari kepergiannya. Rasanya tidak etis bertengkar disaat kami masih berduka.

"Maafkan Anita, keputusan ini membuat kalian murka," entah salah siapa, aku tetap melontarkan permintaan maaf.

"Buat kalian! Jangan pernah mau membantu wanita sombong ini lain waktu. Ibuk tidak akan pernah ridho!" Masih dengan nada tantrum dengan kemarahan, ibuk bangkit dan pergi.

Tak lama kemudian, 2 perempuan pro mertua mengekor di belakangnya. Mereka adalah adik ipar almarhum suamiku. Aku juga tidak tahu salahku apa pada mereka apa, karena mereka pun selama ini juga ikut-ikutan memusuhiku.

"Yang sabar, Mbak. Jangan dengarkan perkataan ibuk." Wahyudianto menguatkan diriku.

Aku mengangguk.

Satu-satunya adik iparku yang selalu netral dan tidak ikut campur adalah Wahyudianto, adik nomor 1 suamiku. Sementara adik Ragil Mas Yudi, Wayan masih setengah. Terkadang berada di pihakku terkadang ya di pihak ibuk. Namun kali ini, dia memilih cuek dan tidak berkomentar.

"Bapak hormati keputusanmu. Mungkin kamu perlu waktu memikirkannya. Pikirkanlah baik-baik tawaran kami untuk mengasuh Aira." Bapak mertua berseru kembali dengan nada yang kalem tapi menurutku tetap menohok. Mereka tidak percaya kalau aku bisa menghidupi kedua anakku.

"Maaf, Pak. Keputusan Anita sudah bulat. Anita tidak akan mengijinkan Aira kalau dia sendiri tidak mau sekolah di sini. Tolong, jangan paksa Anita menjadi menantu yang terus-terusan membangkang."

"Antok setuju dengan Mbak Nita, biarkanlah anak-anak almarhum mas tumbuh kembang bersama mamanya. Mereka masih kecil-kecil, wajarlah kalau mereka masih lengket dengan mamanya. Tunggu saja mereka mengerti, mungkin mereka sendiri bisa berubah pikiran."

Antara setuju dan tidak setuju dengan ucapan Wahyudianto. Lidahku ingin mengoreksi, bahwasanya Aira ataupun Aera tak akan pernah aku ijinkan mereka jauh dariku. Namun ada sisi hati yang membisikkan untuk tetap diam, demi memadamkan aura panas yang kapan-kapan bisa membuat kebakaran yang lebih parah dari marah ibuk tadi.

Nafas panjang dan hembusan dalamlah beberapa kali yang bisa aku gunakan untuk menetralkan perasaanku yang tidak baik-baik saja.

"Ma, Ae ngantuk. Yuk tidur," Aera merengek.

"Bawalah anak-anak istirahat, Nit. Bapak harap kamu juga memikirkan tawaran kami."

Aku segera meninggalkan bapak mertua dan kedua anak lelakinya. Mengajak kedua anakku tidur.

Sesampainya di kamar, aku langsung membaringkan Aera. Seperti biasa, aku peluk tubuhnya sebelum dia tertidur. Anakku yang satu ini memang sangat manja padaku. Tidur harus ada mamanya di dekatnya.

"Ma, ayo kita pulang ke rumah. Ae nggak mau disini terus."

Aku mengelus kepalanya. Memberikan kenyamanan agar dia cepat tertidur.

"Ae nggak suka sama nenek."

"Hustt, jangan begitu. Nenek itu ibuknya papa. Nanti papa sedih kalau kamu bilang seperti itu, Dik."

"Iya, Ma. Kapan papa pulang, Ma? Ae kangen."

Semakin erat aku mendekap putriku. Tak hanya kamu saja yang kangen papa, mama juga.

Tak berapa lama Aera lebih dulu tertidur. Kukira selama aku ngeloni Aera, Aira juga ikut terlelap di belakang tubuhku. Ternyata tidak. Gadis itu tengah khusyuk mewarnai buku gambar yang dibelikan neneknya sore tadi.

Diam-Diam aku mengamatinya. Bersyukur dengan tumbuh kembang Aira.

Tidak terasa, bayi yang terlahir prematur dari rahimku kini tumbuh menjadi gadis yang cantik. Aira lebih banyak belajar, dibandingkan Aera.

Anak mbarepku 75% memiliki watak berbeda dengan adiknya. Aira kalem dan tidak banyak tingkah. Dia juga irit bicara seperti Mas Yudi.

"Kak, bisa mama bertanya sebentar?" Aku harus mengajak anak mbarepku bicara. Mulai sekarang hanya mereka berdua teman yang aku miliki. Teman yang akan menghibur hatiku kala teringat almarhum papanya. Teman yang akan menjadi penghibur ketika ada cerita dari kehidupan yang tak sepaham dengan keadaanku.

"Sebentar ya, Ma. Nanggung. Kakak mau menyelesaikan ini dulu."

Ku hampiri si sulung, kemudian aku dekap. Disitulah tangisku tumpah. Tangis yang sejak tadi aku tahan.

"Mama kenapa?" Khawatir si sulung.

Maaf kan mama...

Permintaan maaf hanya bisa aku gaungkan di dalam hati. Saking kuatnya luapan emosi, aku sampai tak mampu mengatakan yang aku rasakan.

"Jangan nangis, Ma. Aira... Aira..."

Pada akhirnya aku dan si sulung hanya bisa menangis. Aku meluapkan beban batinku, sementara mbarepku mungkin bingung melihat mamanya yang tetiba menangis.

*****

Terima kasih yang masih setia dengan cerita ini. Maaf kemarin nggak update, ada satu halangan. Aku minta tolong bantu share cerita ini ke teman kalian.

See you di part berikutnya...

Suamiku Meninggal Di Rumah Pemandu LaguWhere stories live. Discover now