2

3.7K 729 23
                                    

Aku tidak ingin melanjutkan kuliah. Lagi pula, jurusan yang kupilih pun bukan yang berhubungan dengan minat maupun bakatku. Sama sekali. Aku sengaja mengambil jurusan ekonomi demi meraih simpati dari keluarga Kai Lawson, mantan suamiku. Istri pengertian, cerdas, dan pandai menempatkan diri. Bukankah kriteria semacam itu amat mengagumkan?

Atau, begitulah yang aku sangka. Praktik di lapangan berbeda dengan ekspektasi. Tidak ada satu mata pelajaran pun yang bisa masuk ke otak. Sekeras apa pun aku berusaha memahami materi yang dosen terangkan, semuanya seolah hanya melekat sekilas kemudian luntur. Belajar memang tidak termasuk dalam salah satu bakat yang ada dalam keranjang kehidupanku. Mungkin permasalahannya bukanlah pada “belajar” itu sendiri, melainkan ketidaktepatan. Aku tidak tercipta bagi mata pelajaran ekonomi dan bisnis. Titik.

Oleh karena itu, tempat pertama yang kukunjungi sebelum meninggalkan Kota Metro adalah kampus. Aku selesaikan semua urusan dan menyatakan berhenti menjadi mahasiswi kampus tersebut. Selamat tinggal. Tentu saja harus berpisah dengan hal-hal yang tidak dijodohkan denganku. Memaksa sesuatu bahkan seseorang bertahan denganku tidaklah bijak. Aku harus belajar melepaskan agar tidak terluka lebih parah. Itulah kuncinya, melepaskan.

Setelahnya aku mematikan ponsel, mengeluarkan kartu dan mematahkannya, lantas membuangnya ke tong sampah. Bentuk dari kesungguhanku memutus hubungan dengan siapa pun dari masa lalu. Lihatlah, mudah.

Aku bergegas ke stasiun dan membeli tiket. Begitu kereta yang kutunggu tiba, segera saja aku masuk.

Sepanjang perjalanan aku ditemani oleh seorang ibu dengan balita berusia kira-kira empat tahun. Balita itu tidak bisa diam. Dia terus saja merengek dan menangis. Ternyata karena menginginkan boneka yang tengah dipeluk oleh anak lain yang segerbong. Si ibu berusaha membujuk, tapi tidak berhasil. Sekitar tiga puluh menit aku berusaha menahan diri tidak ikut menangis karena bocah itu selalu menemukan barang baru yang ia incar. Kali ini dia mengincar gantungan tas berbentuk kelinci yang ada di ranselku. Mengagumkan, bukan? Kemampuan anak kecil dalam mencari objek mainan baru.

“Maaf ya,” wanita itu berusaha memohon maaf kepadaku berkali-kali.

Sejujurnya dia tidak perlu melakukannya. Seumur hidup selama tergabung sebagai anggota keluarga Flinn, keluarga ayahku, maupun Lawson, keluarga mantan suamiku, belum pernah ada satu orang pun minta maaf kepadaku dengan tulus. Mereka sekadar menganggap segalanya sebagai wajar.

“Aduh maaf ya,” wanita itu sekali lagi meminta maaf. “Biasanya dia nggak rewel.”

Aku menggeleng, tidak mengatakan apa pun. Kuserahkan gantungan kelinci. Terus terang tidak ada perasaan sedih maupun kecewa. Gantungan kelinci pemberian Kiki. Dulu kupikir itu merupakan bentuk penerimaan dirinya kepadaku. Ternyata selama ini benda tersebut hanyalah sekadar alat untuk menarik simpati dariku. Pencitraan agar dia terlihat baik dan manis. Sepintar-pintarnya menyembunyikan bangkai, aromanya akan tetap tercium. Tidak ada rahasia.

Kereta melaju melintasi area persawahan dan sungai. Ketika tiba di tujuan, perasaan terbebani dalam diriku pun semakin terangkat. Aku mengirup udara, mengendus aroma bunga musim panas yang mekar ceria di dekat gerbang masuk stasiun.

Saatnya menyambut hidup baru.

Kemerdekaan.

***

Tujuanku. Rumah Nenek.

Tidak ada siapa pun yang menempati rumah tersebut. Nenek meninggal ketika aku lulus SMA. Rumah mungil berpagar hijau. Orang bisa saja mengira rumah tersebut ditempati hantu karena lebatnya semak bunga dan semak rambat. Namun, aku tidak takut. Jauh lebih mengerikan manusia daripada setan. Yaaaah andai ada penghuni lain di rumah Nenek, maka semoga saja dia bisa mengerti karena aku tidak punya pilihan lain. Barangkali kami bisa menjadi teman sekamar. Dengan catatan, dia—si makhluk itu—tidak bermaksud menghantui diriku. Persis seperti setan pendendam dalam film.

BYE, MANTAN! (TAMAT)Where stories live. Discover now