Prolog

24 0 0
                                        

Laut Dinata, nama dengan harapan sebesar gunung itu diberikan padaku. Nama yang membuat sesak ketika membacanya. Aku mengerti, bahwa saat masa depan telah terukir, maka tak akan ada yang bisa kau ubah, namun bolehkah aku berharap bahwa keajaiban itu nyata? Karena kupikir aku makin gila. Laut Dinata, nama anak laki-laki yang dibebankan pada anak perempuan. Harapan semu yang dibebankan padaku, anak yang tak memenuhi ekspektasi tinggi orangtua itu. Bukankah mereka percaya bahwa nama adalah doa? Maka kenapa mereka memberikan beban ini padaku? Aku masih bisa merasakan gejolak panas di dadaku. Mataku memanas dengan nafas tenang.

Menatap sebuah foto yang sengaja dipamerkan besar besar di aula. Dia tersenyum seperti lupa pada dendamnya, nampak senang pada hal yang paling dibencinya di dunia. Aku menatap tepat ke arah bibir yang melengkung naik itu, matanya menyiratkan banyak luka, tapi dia tetap tertawa lebar.

Itu adalah...

Aku.

Refleksi dari diriku yang dikenal di permukaan, dan aku sekarang...

Adalah diriku,

Dengan dendam yang terus kupendam seumur hidupku.

"Bu Dinata keren banget ya~" celetuk beberapa gadis yang lewat, kulihat bross unik yang mereka kenakan sebagai tanda pengenal fakultas mereka. "Masih muda, belum juga dapat SIM mobil udah lulus sarjana, duh... pantes jadi wakil Rektor" mereka tertawa lebar "Hidupnya enak banget, pasti duitnya segudang" aku membeku, menyeringai dengan sudut mataku menatap mereka berlalu.

"Aku... iri" desisku.

Kebanggaan ini, kudapatkan dengan membunuh jati diriku. Apa kalian sanggup melakukan itu? Aku kembali mengenakan topi dan masker, berjalan pergi meninggalkan aula yang sesak dipenuhi Mahasiswa.

Pukul dua siang.

Suasana Cafe sedang sepi karena jam kerja, aku meminum affogato sambil sesekali melirik jam tangan, sudah lebih dari lima belas menit keterlambatan wanita itu. Jam 14:08, baru terbuka pintu Cafe, membuat suara lonceng yang khas. Dia melirik kesana kemari pada ruangan sepi itu, kemudian berlari kecil ke arahku.

"Maafkan saya, Bu, tadi macet" aku mengangguk, mengiyakan kebohongan bodoh dari seseorang yang jelas sangat terlambat. "Apa Bu Dinata sudah lama disini?" Dia terus menggunakan kata 'Bu' padahal secara umur, jelas lebih tua dia lima tahun dariku. "Tidak apa apa Bu Wati, saya mengerti kok" aku tersenyum, membalas tatapan takutnya.

"Silakan memesan minuman dulu, saya yakin Bu Wati pasti lelah, dan juga, jangan terlalu canggung terhadap saya, panggil Anda juga bukan masalah" dia mengangguk kecil, sadar akan kesalahannya.

"Baik, apa boleh jika saya mewawancarai sambil direkam?" Aku tersenyum, menegak kopi sambil mengetuk jari pelan ke meja, membuat irama yang terkesan meremehkan. "Ahahaha, baik, bisa saya mulai dengan pertanyaan pertama?" Dia membuka catatan, merekam audio, dan siap untuk bertanya.

"Bagaimana masa kecil Anda, apa Anda sedari kecil memang telah bercita cita ingin menjadi dosen?" Aku terkekeh, menggeleng. "Tidak, dari awal, saya memang tak punya niat hendak menjadi dosen" Ada jeda dimana aku menghela nafas pelan, dan memulai cerita panjang itu.

■■■

Yohooo, semuanya!!! Dunkeyy is here. Ini cerita baru yang Dunkeyy tulis untuk kepentingan sekolah, buat yang nanya kepentingan apa, ga bakal di publikasikan ya, soalnya privasi.

Disini, karakter utama kita adalah Laut Dinata, buat yang nanya dia teh saha, jadi dia tuh dosen sekaligus wakil Rektor dari universitas terkenal, dan yang bikin semua orang kenal dia, adalah karena dia jadi salah satu dosen termuda dengan IPK terbaik di Indonesia, oke, buat yang nanya gender, dia teh wedok (tl: perempuan), okee segitu dulu, see yaa~

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 19 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Andam KaramWhere stories live. Discover now