hi, Nama

8 2 0
                                    


Bicara tentang kamu, kebanyakan kata kerjanya cuma satu: takut.

Lebih dari setahun sudah aku berada di tengah-tengah, tidak ada kemajuan, tapi sakit sekali kalau mengaku nol lagi. Aku tidak ingin berhenti, tapi jalan perlahan pun rasanya hanya berputar-putar.

"Berputar-putar itu normal, Na. Mimpi sudah punya poros. Kalau kamu nggak bisa bertahan di porosnya, keluar jalur, itu yang masalah."

"Poros?" Aku menoleh lagi ke bangku kemudi, tidak sengaja melihat jam tangan kuning motif bunga-bunga itu. Bapak bilang bekas adalah kepanjangan dari benda terbuang yang berkelas. Bapakku ini memang tidak tahu perkara style, tapi tidak sekalipun membiarkan anaknya terlihat lusuh adalah style Bapak.

Bapak juga tidak pernah absen ibadah lima waktu, pasti yang dimaksud sekarang juga tidak jauh-jauh dari Tuhan.

"Iya, poros, Na. Allah," Lihat kan, apa kubilang. Justru karena Bapak tahu betul imanku turun dan terus menurun. Aku gagal, gagal, dan gagal, apalagi alasan yang lebih masuk akal? Tuhan sepertinya terlalu percaya aku sesanggup itu. Rasanya putri Bapak yang jahat ini bisa dibilang sudah hampir menyeberang sungai keputusasaan. Hampir ya.

Sungai itu punya air tenang, memberi waktu untuk berpikir mau sedikit lagi tiba di pintu baru atau kembali meneruskan jalan lama. Keduanya sama-sama tanpa jaminan keselamatan. Bedanya, pintu baru bisa saja menyebabkan déjà vu. Berputar di poros lagi? Kalau aku, sih tidak mau.

"Aduh!" Hampir saja kepalaku terbentur dashboard, nakal-nakal begini aku tetap nurut Bapak soal prosedur berkendara, memakai sabuk pengaman. Aku tidak mau mati muda, enak saja. Harusnya ibu yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan sambil melambai-lambai ini yang mati.

"Kamu nggak apa-apa, Na?"

Mulutku sudah mangap hendak menyemprot sambil membuka kaca jendela, tapi malah didahului. "Pak, TAXI kan, antar saya ke Jalan Bandung, saya bayar tiga kali lipat dari mbak ini. Jadi turunkan saja dia dan antar saya," menunjukku, satu tangannya lagi memegang dompet, siap bayar berapa saja.

"Heh, Bu-" Bapak segera meraih pundakku dengan tangannya, menggeleng.

Sebab bicara tentang kamu, kebanyakan kata kerjanya cuma satu: takut.

Orang-orang terlihat menjalani hidup pertama mereka dengan baik, meski aku tahu seberapa polosnya mata ini atau seberapa kekanakannya pemikiran itu. Apakah mereka juga sama polos dan kekanakan ketika menyaksikanku? Andai saja aku bisa benar-benar hidup dalam diri yang mereka simpulkan ya. Bukan menahan diri begini.

Bapak dan aku seperti dua sisi yang berlawanan, saling melengkapi. Bapak protagonis dan tentu aku antagonis bengisnya. Aku gedek sekali melihat ibu sok raja itu, hanya karena memegang uang sebagai pelanggan. Bahkan sudah dijelaskan aku adalah anak Bapak, tidak mungkin seenaknya diturunkan di jalanan tengah malam. Setoran juga sudah diberi, tinggal sisa buat besok sarapanku, lampu taxi sign mati, kenapa masih tidak mengerti?

Dunia memang pertarungan antara orang mengerti dan tidak ya. Entah mengerti betulan atau bohongan, semua ngotot. Bekerja sopir dua puluh empat jam sudah tidak pas buat Bapakku yang limapuluhan, saran buat dapat uang apanya, dasar wanita tua tukang suruh-suruh!

"Sssst, nggak pernah ada yang sesederhana kelihatannya, Na."

Bapak, tolonglah pakai kartu egoisnya sedikit saja, bukan bicara benar dan benar-benar membuat darahku berdesir, merinding, karena benar lagi, bicara tentang kamu, kebanyakan kata kerjanya cuma satu: takut.

Bapak mewanti-wanti supaya tidak sampai bekerja dijalanan sepertinya. Seberat-beratnya jadi guru, setidaknya bukan was-was sepulang mengantar penumpang pada pukul dua pagi atau menghadapi demo besar-besaran, kapan saja bisa jadi sasaran amukan atau dilema membedakan uang haram dan halal dari mbak-mbak rok mini yang minta dijemput di depan bar besar kota.

Bapak memang sama manusianya denganku, punya takut. Bedanya, ketakutan Bapak jelas sementara aku tidak. Kamu saja tidak jelas, bagaimana aku menjelaskan ketakutan yang menyita waktuku belum lama?

Iya, aku dipanggil Nama dan sedang menempuh pendidikan tinggi buat jadi guru. Muridku bingung atas namaku, tapi Bapak senang dan bangga Namanya bisa mengenyam bangku kuliah, di gedung-gedung tinggi, dibimbing dosen dan professor hebat, bertemu nama-nama terpelajar seluruh negeri, jadi satu dari 6,41% saja penduduk Indonesia yang beruntung. Aku senang, tapi tidak begitu bangga. Aku direndahkan, dianggap bahwa kamu akan suram, gaji kecil, hanya PNS biasa, perempuan.

Mereka tidak tahu seberapa senang Bapak waktu pertama kali sadar anak sopir TAXI ini bisa diterima salah satu universitas terbaik. Aku sendiri tidak tahu seberapa kali Ibu terbentur, ngantuk, bangun dini hari berdoa, apalagi mereka? Sudah cukup perasaan seakan-akan tahu, padahal bukan apa-apa itu. Harusnya tidak kudengar lebih banyak. Harusnya Bapak dan Ibu juga segera membungkam mereka dengan keberhasilan yang kuhadiahkan, tentang kamu, iya kan? Maka biar aku sekarang usaha lari, terengah berkejaran dengan waktu, bertaruh siapa yang hancur duluan: takut atau mentalku. Tidak masalah, biar, toh Bapak sudah bilang, "Nggak pernah ada yang sesederhana kelihatannya, Na." Akan kuhadapi rumitnya dunia, Pak!

Bicara tentang kamu, Wahai masa depanku, mungkin memang menakutkan, tapi apa boleh buat, takut ya dihadapi, kalau terus ditakuti nanti jadi semena-mena kamu, sok tahu tentang aku, tentang daya bantingku.

Bapak, aku masih sama penakutnya seperti kecil dulu, tapi sudah mulai tahu: Aku Nama, lahir dari ketakutan yang ditaklukkan. Aku Nama, anaknya Bapak dan Ibu, Nama yang awalnya tidak bangga pada diri bakal jadi bangga berani berdiri. Lihat saja!

-Nama, September 2023

kalau menuruti takut, aku tidak akan dilahirkanWhere stories live. Discover now