10 - Hujan dan Sebuah Luka

30 8 0
                                    

Bab 10 – Hujan dan Sebuah Luka

Firda menyeruput kopinya sebelum menjawab. Agaknya dia harus hati-hati menyusun kalimat.

"Ikhsan itu anak ayahku dengan perempuan lain."

Edas sampai menahan napas mendengarnya.

"Tapi ... entahlah. Karena selama ini, aku sama Ibu nganggap Ayah adalah sosok pahlawan keluarga yang sesungguhnya. Dia nyaris tanpa cela di mata kami. Tapi ternyata, diam-diam dia punya keluarga lain di luar sana."

Edas menghela napas perlahan. Dadanya ikut sesak. Sejauh ini dia sudah sering menemukan lelaki yang sudah berstatus suami dan ayah yang kelakuannya mirip ayahnya, dan sekarang ada lagi.

"Anehnya, nggak sekali pun kami curiga. Dia benar-benar ahli memainkan perannya sebagai kepala dari dua keluarga. Bahkan hingga dia meninggal, kami nggak akan tahu pengkhianatannya itu kalau saja Ikhsan nggak mendatangi kami.

Suatu malam, anak itu tiba-tiba berdiri di depan pintu rumah kami dalam kondisi yang sangat berantakan. Saat kami tanya dia siapa, cari siapa, dan ada perlu apa, dia malah menunjukkan selembar foto, foto pernikahan ayahku dengan ibunya. Kami tentu saja kaget, terutama Ibu."

Edas memasang telinga baik-baik. Tidak mudah menceritakan hal semacam ini kepada orang yang baru kenal dua hari, tapi Firda seolah tidak ragu mengurai kesakitan itu dengannya.

"Ketika duka atas kematian Ayah belum pulih seutuhnya, tiba-tiba muncul aib yang dia sembunyikan selama ini. Tapi luar biasanya ibuku, dia nggak mencecar Ikhsan dengan pertanyaan lebih lanjut. Melihat anak itu hanya diam dengan mata sembap, dia malah menyuruhnya mandi, menyiapkan makanan dan kamar tidur. Besoknya, Ikhsan baru bisa diajak bicara. Katanya, tak lama setelah Ayah meninggal, ibunya menikah lagi, tapi suami barunya nggak mau dia ikut tinggal bersama. Akhirnya dia dititipkan sama tantenya. Sayangnya, tantenya juga nggak sudi membiayai hidupnya. Akhirnya dia diusir dan diberi tahu alamat kami."

"Mungkin gara-gara itu, karena merasa hidup nggak pernah adil padanya, dia jadi agak liar." Edas bingung berkomentar lebih lanjut. Cerita tentang sanak keluarga yang sekejam itu bukan hal baru baginya.

"Mungkin. Tapi terlepas dia benar-benar anak ayahku atau bukan, sekarang aku tulus sayang sama dia, begitu pun Ibu semasa masih hidup. Makanya, kami paling nggak suka kalau dia ngomong gini, 'Kalau di sini aku juga nggak diterima, kalian boleh usir aku. Nggak usah sungkan.'"

"Wajar. Dia sudah melewati banyak kesulitan. Anak seusia itu dipaksa merasai rasa nggak diinginkan. Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya."

"Saat ini kami hanya punya satu sama lain. Karena itu, aku pengen banget bisa ngertiin dia. Aku pengen dia benar-benar nganggap aku kakaknya, orang yang bisa leluasa dia mintai tolong."

Edas menyeruput kopinya sebelum berkata, "Yang aku rasa, sih, dia anak yang baik, kok. Mungkin kamu hanya perlu meluangkan waktu untuk lebih mengenalnya."

"Aku juga mikirnya gitu. Kami emang jarang ngobrol di rumah. Dia sekolah, aku kerja. Kalau di rumah biasanya di kamar masing-masing. Makan aja keseringan sendiri-sendiri."

"Mulailah pelan-pelan. Cari topik yang bisa kalian obrolin. Lebih bagus lagi kalau mencoba kegiatan sederhana yang bisa kalian lakuin bareng."

"Contohnya?"

"Kalau topik, bisa dari hal yang paling dia sukai."

"Kayaknya dia suka bola. Dan aku nggak paham bola sama sekali."

"Nggak harus. Bisa aja kamu nyari tahu tentang pemain idolanya, lalu di waktu yang pas kamu pura-pura nanya gitu. Misal, eh, Messi kabarnya punya kerabat di Indonesia, ya? Ini contoh aja, ya, dari sekian banyak hal yang bisa kamu jadiin bahan."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 04 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mantan Pembunuh BayaranWhere stories live. Discover now