8 - Seperti Pangeran yang Turun dari Langit

37 9 0
                                    

Bab 8 – Seperti Pangeran yang Turun dari Langit

Hingga pagi ini Rania masih tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba tadi malam dia inisiatif membelikan Edas seperangkat obat? Demi apa coba? Bagaimana kalau si karyawan baru itu jadi besar kepala?

Akan tetapi, sekalipun waktu bisa diputar kembali, Rania tidak akan meralat tindakannya. Dia tetap akan memberikan obat itu, atau bahkan mengoleskannya langsung ke luka Edas. Bagaimana pun, dialah pangkal masalah hingga Edas menuai penyerangan tadi malam. Dia merasa bersalah. Sialnya, dia tidak punya cara lain untuk menunjukkan rasa bersalahnya itu selain membelikan obat.

Rania ingin melupakan soal pemberian obat itu dan kembali menandai Edas sebagai orang yang wajib diantisipasi. Latar belakangnya masih tidak jelas. Tiba-tiba saja dia masuk ke perusahaan keluarganya seperti pangeran yang turun dari langit, lalu mendapatkan perhatian khusus sedemikian besar dari papanya. Bagi Rania, ini misteri besar yang harus dia ungkap secepatnya.

Padahal sudah memutuskan untuk bersikap biasa, tapi tiba-tiba langkah Rania terhenti karena melihat Edas sedang mengobrol santai dengan temannya di lobi. Sepertinya mereka habis dari pantry, terlihat dari segelas minuman di tangan masing-masing.

Aneh! Sungguh aneh. Bukannya menatap ketus seperti biasanya, kali ini, tanpa sadar Rania malah senyum-senyum sendiri melihat tingkah konyol si karyawan baru itu saat usik-usikan dengan temannya. Terlebih saat Rania menyadari plester luka bergambar kartun yang menempel di keningnya. Itu jelas plester pemberiannya tadi malam.

Rania merapatkan bibir agar tawanya tidak menyembur. Karena buru-buru, tadi malam dia asal comot plester luka itu di rak, sama sekali tidak memperhatikan variannya. Siapa sangka Edas malah sepede itu memakainya.

Rania bergegas melanjutkan langkahnya ketika Edas dan temannya itu hendak keluar. Agaknya mereka akan ke smoking area sebelum jam kantor dimulai. Rania bergegas masuk ke lift sebelum terlihat.

Di dalam lift, Rania memukul kepalanya sendiri setelah menyadari kebodohan yang barusan dia lakukan. Ini jelas-jelas kantor papanya, yang sudah pasti akan dia warisi suatu hari nanti. Dia jelas punya kuasa di sini. Namun, kenapa dia malah kucing-kucingan dengan karyawan baru?

Rania harus segera berbenah. Dia agak aneh hari ini.

***

"Kemarin pasti kamu kecapean banget, ya, sampai ngelag dan jatuh," komentar Ali saat dia dan Edas beriringan menuju smoking area. Secangkir kopi dan sebatang rokok rasa mentol bukan ide buruk untuk mengawali hari.

"Begitulah."

Edas memilih berbohong kepada tetangga kubikelnya ini. Dia tidak ingin dicecar pertanyaan-pertanyaan panjang kalau sampai Ali tahu kejadian sebenarnya. Bisa dibayangkan akan seheboh apa responsnya. Lagi pula, masalah tadi malam berkaitan dengan insiden di coffee shop. Edas cukup paham kalau Rania merasa kejadian itu tidak perlu diketahui oleh siapa pun. Rania pasti tidak ingin orang-orang mengaitkannya dengan artikelnya yang sedang viral.

"Mulai sekarang kamu harus terbiasa, karena rapat dadakan semacam itu tidak ada di kalender kerja." Ali terkekeh singkat, lalu menyeruput kopinya, masih sambil jalan.

Edas bergumam. "Aku dalam proses adaptasi."

"Terus, motormu gimana?"

"Malah lebih peduli motor," protes Edas dengan nada gurau. "Harusnya nanyain kondisiku dulu, dong."

"Lah, kan aku udah lihat langsung ini. Kamu sehat-sehat aja, masih bisa bikin kopi sambil cengengesan, dan tetap ganteng kayak kemarin."

Edas tertawa.

Mantan Pembunuh BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang