03

170 21 2
                                    

Beberapa hari setelah kesibukan melanda, pasangan suami istri itu kembali bermanja. Akhir pekan yang dinanti pun tiba, mereka tak ingin beranjak dari tempat tidur karena magnet yang begitu kuat juga pelukan hangat tak ingin lepas. Meski sinar matahari telah menyusup melalui tirai jendela keduanya tak tergubris dan menetap dalam posisi.

Ding dong ding dong.

Suara bel beruntun membuat keduanya terbangun. [Name] langsung beranjak dari kasur karena terkejut, tetapi Suna yang kesadarannya hampir penuh langsung menarik istrinya kembali ke kasur. Ia mengusap mata sembari mendecak, berpikir siapa tamu tidak ada akhlak yang datang sepagi ini dan membunyikan bel tanpa perasaan.

"Biar aku saja," ucapnya, melihat wanitanya duduk di pinggir kasur dengan mata masih terpejam dan menyadarkan diri. Suna sudah pasang badan untuk mengomel, apalagi jika orang yang bertamu itu cukup ia kenali. Kalau memang ingin bertamu pagi-pagi, kenapa tidak dilepas saja belnya sekalian terus dilemparkan ke dalam rumah? Begitu gerutu Suna dalam hati.

Kakinya terhentak saat bel rumah mereka tak berhenti, ia mulai merisau karena orang yang seenaknya menekan bel tanpa perasaan. Ketika pintu terbuka, ia terkejut ketika mendapati siapa yang bertamu tanpa melihat waktu.

"Kau baru bangun?" ketusnya. "Sudah jam berapa ini!"

"Bibi sendiri kenapa datang sepagi ini? Kurang kerjaan ya?" Suna berbicara tanpa memilah kata, terlanjur kesal setelah tahu orang yang datang dan mengganggu kemesraannya bersama sang istri adalah adik dari ibu [Name]--bibinya. Orang tua ini sering sekali datang dan mengganggu, setelah diamati cukup lama pun wanita kolot di hadapannya memang meresahkan. [Name] yang sudah lama kenal betul dengan bibinya pun malas meladeni. Entah apalagi yang dia minta karena datang pagi-pagi.

"Heh! Mulutmu ya!" Ia marah, menunjuk Suna. "Kenapa juga [Name] memilih pria sepertimu."

"Aku lebih kasihan karena bibi adalah keluarga [Name]."

Ketika wanita tua itu ingin marah, [Name] mengintip karena mendengar dua orang sedang bercekcok dengan mata yang seringkali terpejam. "Siapa?"

Suna belum sempat menjawab, tetapi sang bibi menerobos masuk ke dalam rumah dan menggoncang tubuh keponakannya. "Kau juga baru bangun? Kalian berdua benar-benar pemalas!"

"Apa, sih." [Name] menghempas tangan bibinya sembari mendecak. "Bibi datang pagi-pagi untuk minta uang 'kan?" tebaknya. "Masih sempat bilang kami pemalas lagi."

"Aku bilang kalian malas karena kalian baru bangun. Memangnya kalian tidak bekerja? Anakku sudah bangun jam 4 pagi untuk pergi bekerja."

"Itu anakmu, bukan kami."

[Name] benar-benar risih karena dia tidak bangun dengan nyaman. Saat nyawanya belum sepenuhnya terkumpul ia malah diharuskan beradu mulut dengan orang tua yang tidak ingin dianggapnya sama sekali. Baginya, wanita tua ini hanya benalu bagi keluarganya. Ibu [Name] yang seorang janda saja bisa menghidupinya sampai berumah tangga, tetapi orang ini sudah memiliki suami (yang katanya) pekerja keras dan anak-anaknya yang sukses masih saja merepotkan keponakannya yang pemalas.

"Sudahlah." Ia mengibaskan tangan. "Aku mau pinjam uang."

"Memangnya kau ibuku? Ibu Rin? Kenapa kau enak sekali menadah tanganmu."

Suna memegang tangan [Name], menatap sang istri sebelum berbicara macam-macam. Iya, semengesalkan bagaimana pun wanita tua ini masih menjadi keluarga dekat [Name]. Mereka tak pernah tahu apa yang akan terjadi jika kata-kata lain mulai meluncur dari mulut sang wanita.

Decakan tercipta, [Name] menatap kesal bibinya dari bawah hingga ke atas. Pakaiannya saja rapi, terbilang bermerk, anaknya juga memiliki pekerjaan bagus, kenapa dia repot-repot datang untuk minta uang dengan orang yang bukan anaknya?

"Berapa?"

"Sepuluh ribu yen saja."

"Saja?" [Name] terkejut, dahinya mengernyit saat bibinya berucap.

"Kau tak punya uang segitu? Masih mau bangun siang-siang?"

Suna mengelus punggung tangan [Name] dengan ibu jari, peka ketika tahu istrinya mulai emosi saat bibinya berbicara. Ia pun pergi ke kamar untuk mengambil uang yang diminta, kembali dengan amplop cokelat dan menyodorkannya pada sang bibi. Namun sebelum wanita tua itu menerima, [Name] mengangkat amplop tersebut.

"Kapan mau bayar?"

"Kau belum meminjamkannya tetapi kau sudah menagihku?" Nada bicara sang bibi pun meninggi. "Pantas saja kau belum hamil."

"Apa hubungannya--" Tubuhnya sudah siap untuk melayangkan tampar tetapi prianya menahan sekali lagi, memegang tangan [Name] lalu mengambil amplop dari sang wanita. Ia memberikannya pada bibi [Name] dan mengibaskan tangan--mengusir wanita tua itu.

"Pergi sana, jangan datang lagi." Suna berucap, wanita itu pun pulang dengan bahagia. Jelas karena sudah mendapat uang, kalau tidak Suna akan diladeninya.

Setelah pintu rumah ditutup, wanita pemilik iris [Eyes Color] itu menghembus napas panjang dan duduk di kursi makan. Salah satu cobaan yang berat dalam pernikahan adalah menghadapi keluarga sendiri. Jujur saja, [Name] malu pada suaminya karena tingkah sang bibi yang seenak dengkul minta uang padahal mereka hanya sebatas bibi-keponakan. Ibunya saja tak pernah merepotkan mereka bahkan sampai mereka menikah. [Name] malah khawatir kalau ibunya tak meminta, saking tak ingin merepotkan.

Apalagi kata-kata sensitif yang diucapkan wanita tua itu.

Mereka sibuk, benar-benar sibuk. Apalagi Suna yang bisa pergi kapan pun dan pulang tak tentu. Lagipula umur pernikahan mereka terbilang muda, kenapa orang-orang sudah sibuk bertanya? Memangnya mereka mau mengurusi segala kebutuhannya saat hamil sampai melahirkan nanti?

"Maaf, ya," [Name] mencicit, melihat Suna yang berdiri di sampingnya lalu memeluk sang lelaki. "Apa kita pindah rumah saja biar tidak dicari-cari?"

"Bukan salahmu, dan itu tidak perlu," jawabnya, mengelus kepala wanitanya. "Hadapi saja, suatu saat dia akan menerima akibatnya."

"Tapi aku benci melihatnya selalu datang ke rumah, Rin!" pekiknya, melihat Suna dengan tatapan kesal. "Mana dia sempat menyinggung tentang kehamilan, aku makin bete." Ia memeluk Suna lagi, menenggelamkan kepalanya ke tubuh lelaki itu.

"Biarkan saja, aku dengar kehamilan itu tak seindah yang orang ceritakan. Lebih baik kita nikmati saja masa-masa ini."

"Hm? Kau dengar dari siapa?"

"Ya~? Rekan-rekan setimku, ada yang menunda anak kedua karena kasihan melihat istrinya."

"Oh, ya?" [Name] antusias, melihat lelakinya dan tersenyum tipis. "Bagaimana cerita mereka? Kau mau menceritakannya padaku 'kan?" tanyanya. "Hitung-hitung untuk persiapan kita nanti, hehe."

"Boleh." Suna mengulas seringai, menggendong sang istri bak pengantin membuat [Name] terperanjat dan memekik. Ia memeluk leher prianya, saling beradu tatap. Hanya saja, wajah Suna saat ini tengah menyiratkan "sesuatu". "Ayo kita mandi dulu."

"B-Berdua?"

"Ya, apa itu aneh?"

[Name] menggeleng kikuk. "A-Apa kita akan--"

"Yap," Lelaki itu menjawab cepat, membawa [Name] masuk ke kamar dan berjalan terus ke kamar mandi. Cerita selanjutnya hanya menjadi rahasia mereka berdua.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 27, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ʀᴇᴅᴀᴍᴀɴᴄʏ || ꜱᴜɴᴀ ʀɪɴᴛᴀʀᴏᴜWhere stories live. Discover now