Intan tertawa. "Kamu beneran nggak sehat ini, sampai kembali ber-lo gue begini."

"Sorry—"

"Nggak apa-apa. Malah dengan begini kamu kelihatan normal, Rin," Intan menggoyangkan telapak tangannya mencegah Jerini meminta maaf. "Sakit apa?"

"Flu berat kayaknya."

"Kenapa nekat masuk kerja?" tanya Intan.

"Menurut lo?" Jerini membelalakkan mata. "Gue nggak mau gila di kontrakan sendirian. Minimal di sini gue punya teman."

Intan menatap Jerini dengan iba.

"Jangan kasihani gue, Tan," ucapnya parau.

"Aku anterin ke poliklinik kantor habis ini ya, Rin."

Jerini menggeleng. "Ogah. Gue yakin kalau disuruh istirahat di rumah. Gue lagi pengin jauh dari rumah."

"Ya nggak harus istirahat di rumah, Rin. Kamu bisa ke hotel kek, ke mana. Jangan kayak orang susah ah!" omel temannya ini. "Lagian kamu mau nularin orang satu ruangan di sini sama penyakitmu?"

"Tan—"

"Rin, kamu istirahat sehari dua hari nggak bikin Pak Fattah Rahardja jatuh miskin, tahu?" Intan membelalakkan matanya.

"Sialan. Lo benar," kata Jerini yang akhirnya menyerah karena tak bisa lagi menolak Intan.

Setelah menyambar tas yang baru saja dia letakkan, wanita itu mengekori Intan menuju ke poliklinik mewah milik perusahaan yang berada dalam kawasan kompleks Rahardja Industrial Estate ini. Dan seperti takdir yang bertaut, di poliklinik itu mereka bertemu Mbak Ratna yang juga sedang menunggu dokter praktik. Membuat acara periksa menjadi ajang bergosip.

"Dewi edan! Lonte sialan yang nggak tahu diri!" umpat Mbak Ratna. "Lha wong dia masuk tim Pak Cakra itu karena maksa. Padahal lak wes jelas gantine Jerini iku Tommy. Lha kok ngeyel—"

"Kata Mas Budi dia bermasalah di perlengkapan," potong Jerini dengan wajah terbenam dalam maskernya.

"Nggak cuma bermasalah asline. Kelakuannya itu sudah lama dan banyak orang tahu. Tapi nggak pernah ada bukti karena dia dilindungi," kata Mbak Ratna dengan berbisik. "Nah, Budi yo goblok temen, wong kok lugune gak umum blas!" (Nah, Budi ya goblok banget. Orang kok lugunya nggak umum).

"Emang apa salah Mas Budi, Mbak?" tanya Jerini heran. "Kan dia mergoki Dewi curang. Wajar kan, kalau lapor sama Pak Pras, atasannya."

"Masalahe, Rin. Dewi itu selingkuhane Pak Pras! Ngerti nggak awakmu?" tanya Mbak Ratna geregetan.

Baik Jerini maupun Intan terkejut oleh kenyataan ini. Wadow! Ternyata diam-diam kantor ini juga menyimpan skandal!

"Nah, karena Budi sudah lapor secara resmi, jadi Pak Pras nggak bisa melindungi Dewi lagi. Mau nggak mau harus diproses secara administratif. Makanya Dewi dikeluarkan dari divisi."

"Pantesan—" Jerini menggut-manggut. "Sudah ketahuan curang kok sanksinya ringan, cuma disuruh pindah divisi—"

"Ya gitu itu! Kalau lendir sudah mengalir, apalagi kalau otak Pak Pras wes diisi lendire Dewi yang beracun, rusak kabeh aturan!" Mbak Ratna ngoceh dengan menggebu-gebu.

Jerini dan Intan saling berpandangan.

"Makanya Rin, kamu ini ada peluang mepet Pak Cakra, kok malah kabur ke marketing. Sayang banget kesempatan bekerja dengan orang yang dicalonkan jadi CEO malah kamu lepas," lanjut Mbak Ratna sengit. "Padahal kalau kamu sudah dekat sama Pak Cakra, tinggal ngomporin aja biar pasangan mesum itu dipecat dengan tidak hormat. Enek aku lihate! Orang-orang juga banyak yang gerah. Kecuali antek-anteknya Pak Pras yang sudah kesembur ajian lendire Dewi. Huek!"

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now