Part 2

25 0 0
                                    

Musim sedang memasuki musim hujan. Lebih tepatnya awal musim hujan. Dimana udara yang sejuk terasa hampir setiap pagi saat orang-orang memulai aktivitas mereka.

Begitu pun saat sekumpulan orang mulai duduk dan mengikuti meeting yang di adakan oleh Raina. Terasa udara menyentuh kulit mereka begitu lembutnya.

Setiap orang sangat fokus mempersentasikan activity plan yang di kerjakan oleh masing-masing divisi. Raina sebagai ketua hanya menyimak dan memastikan tidak ada keliru dari setiap rencana yang di buat mereka. Hingga pada saat giliran Bima tiba, seorang wakil ketua sekaligus penanggungjawab dari acara yang akan di adakan 2 minggu kedepan.

Dahi Raina mulai mengkrucut, di kepalanya banyak sekali yang ingin ia sampaikan. Hatinya berkecamuk kesal karena seolah-olah ia sedang mendengar persentasi dari seorang anak SD yang tidak mempunyai pikiran.

"Gue sih ngikutin aja, ini udah jadi di bagiannya masing-masing, tinggal jalan aja" ujar Bima selepas mempersentasikan 4 slide power point yang di bawanya.

"Terus lo ngapain, Bim?" Tanya Raina

"Soal sponsor lu udah bikin belum proposalnya, mana tunjukin ke gue!" Bima mematung sebentar melihat Raina bertanya dengan tegas, seisi ruangan terasa sunyi dan hanya suara Raina yang menggema.

"Ohiya belum, Ra" jawab Bima dengan datar, entah ia berusaha tenang atau sedang menahan malu mengingat jabatanya tinggi di himpunan.

"Belum??? Selama ini lo kemana aja, sibuk banget sampe ga sempet bikin proposal!!" Suara Raina meninggi saat mengucapkannya.

"Belakangan ini gue sibuk mendaki, Ra. Ini gue baru turun gunung semalem, kenapa ga lo sih yang bikin?"

Raina ingin sekali menggebrak meja, melampiaskan semua amarah yang ada pada dirinya. Namun ia sadar, dirinya adalah seorang pemimpin yang harus menjadi panutan. Perihal proposal, Bima sudah menyepakati kalau dirinyalah yang akan membuatnya. Setiap bertemu denganya Raina selalu menayakan hal tersebut meski Bima selalu menggampangkannya.

"Bima lo jangan kayak anak kecil deh, berapa kali gue ingetin lo buat kerjain, lo selalu menggubris itu"

"Iya, Ra, gue paham. Tapi lo sebagai ketua harusnya lebih inisiatif dong, jangan jadi nyalahin gue"

"Maksud lo, Bim?"

"Ya, lo juga harusnya cover gue"

"Sepenting apa sih mendaki, Bim? Sampe lo pikun begini!! Coba bilang ke gue kalo gue ga pernah nawarin buat bantuin lo" Bima hanya diam dan memainkan ballpoint yang di pegangnya.

"Bima gue kecewa banget sama lo sumpah, lo orang yang gue percaya, Bim, sebelumnya lo ga pernah kayak gini"

"Sampe lo harus bulak-balik gunung, sampe lo ninggalin tanggung jawab lo sebagai wakil ketua, lo ngapain sih, Bim?" Ujar Raina masih menggunakan nada yang tinggi.

"Penting, Ra, Lo gatau rasanya perasaan lo di sepelein dan harus nyembuhinnya ke tempat yang memang lo sukai doang." Semua orang terkejut dan bertanya-tanya mendengar perkataan Bima, Raina pun ikut mematung, sekaligus merasa tersindir dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Bima.

"Lo tenang aja, hari ini gue kerjain dan besok beres" ujar Bima lalu keluar ruangan dengan muka lelah bercampur kesal.

Ruangan menjadi hening, udara terasa semakin dingin, namun hati Raina masih berkecamuk tak terima dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Kemudian Raina membubarkan meeting. Membuat jadwal ulang pertemuan mereka di hari yang lain.

Kepala Raina terasa sakit. Mungkin karena belakangan ini ia kurang tidur dan juga sangat sibuk mengurus acara. Di tambah dengan toko bunga miliknya yang semakin ramai pembeli.

MemoarOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz