Bu Ida yang selalu tegas dan to the point memang cocok menjadi pemimpin staf perempuan dengan segala sifat serta karakternya yang unik ini. Dalam waktu singkat semua pun bubar untuk pergi makan siang.

"Ke kantin, Rin?" Intan menawarkan.

Jerini menggeleng. "Nggak sanggup ke sana aku, Tan. Nggak bisa bayangin gimana kalau ntar semua orang merhatiin aku. Bisa-bisa aku susah telan makananannya."

"Ya sudah, kalau begitu aku ntar mbungkus dari kantin dan kita makan di sini."

"Makasih ya, Tan."

Intan mengangguk sambil bergegas keluar. Selama dia punya teman-teman yang cukup mempercayainya, Jerini bisa merasa baik-baik saja. Apalagi dia juga memiliki pekerjaan yang menuntutnya untuk sibuk sepanjang waktu. Selain diberi banyak tugas analisis yang membuatnya tenggelam di depan layar laptop, Bu Ida juga sudah menyusun jadwal pertemuan dengan beberapa pihak, dan meminta Jerini mendampinginya.

Khusus hari ini, Bu Ida beberapa kali menghampiri. Meskipun wanita itu tidak mengakui, Jerini tetap percaya kalau sebenarnya atasannya itu peduli kepadanya dan ingin memantaunya. Frekuensi kemunculannya yang lebih kerap dari biasanya adalah indikasi kalau wanita itu ingin memastikan Jerini baik-baik saja, meski dengan kedok mengajaknya mengobrol ini dan itu.

"Ini, Rin. Aku tambahi pekerjaan lagi khusus buat awakmu. Biar sekalian banyak. Biar emosimu tersalur dengan positif. Lumayan kan, kamu nggak perlu sewa sasana tinju untuk melampiaskan kemarahan? Cukup gelut dengan pekerjaan saja," ucapnya berkelakar.

Beberapa orang yang mendengarnya ikut tertawa oleh lelucon itu.

"Namanya juga apes. Jerini ini berusaha menghindari fitnah karena sering pergi berdua saja sama Cakra. Sampai nginep-nginep segala. Jebule malah difitnah sama Budi. Itu beneran yang namanya apes," lanjut Bu Ida.

Kali ini orang-orang tertawa lebih keras. Karena memang selucu itu kejadiannya kalau dipikir-pikir lagi.

Pukul lima lewat 30 menit. Sebagian besar pegawai sudah meninggalkan tempat. Jerini mengambil waktu istirahat sejenak sambil menunggu waktu salat Magrib, sebelum melanjutkan rencananya untuk lembur sampai jam tujuh malam nanti. Jerini dikejutkan oleh kemunculan Mas Budi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan kubikelnya. Pria itu terlihat kucel dan dengan menunduk-nunduk menyampaikan permintaan maaf.

"Mestinya kemarin aku nurut kamu, Rin. Padahal kamu sudah nolak," ucapnya penuh penyesalan.

"Sudahlah, Mas. Mau gimana lagi? Aku yo nggak paham kok bisa sampai kayak gini gosipnya."

Jerini menepis ingatan ketika tadi siang beberapa orang beda divisi yang sebelumnya sama sekali tidak pernah berinteraksi dengannya, terlihat mondar-mandir di lorong depan ruangan marketing. Katakan dia paranoid. Namun menjadi objek tontonan dan sasaran rasa penasaran itu sama sekali tidak mengenakkan! Dewi sukses sekali membuat hidupnya bagai di neraka hari ini.

"Bisa-bisanya Dewi itu ...," Mas Budi menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. "Aku jadi curiga. Jangan-jangan dia sengaja membuntuti kita dan mengintai. Menunggu kesempatan kita berbuat salah. Niat banget sih, dia pengin menjatuhkan kamu sama aku, Rin?"

"Memang Mas Budi punya masalah sama Dewi?" tanya Jerini dengan tatapan menyelidik.

"Ya ... dibilang ada masalah, memang ada. Sebelum pindah divisi kan, dia di perlengkapan, Rin."

"Lah, aku baru tahu, Mas." Jerini mengernyit dengan tertarik. Karena kalau cuma masalah dia mempermalukan diri di depan Cakra minggu lalu, mestinya nggak sampai se-effort ini balas dendamnya. Kecuali Dewi memang orang nganggur kurang kerjaan.

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now