"Serius deh, kamu kayak lost di duniamu sendiri gitu," gerutu Kirania.

"Don't worry. Saya mengikuti semua obrolan kalian dengan baik, kok," Cakra menjelaskan dengan santai. "So far, kamu menjelaskan semuanya dengan sangat baik dan on point seperti waktu kita bahas tempo hari." Demi meyakinkan ucapannya, Cakra mengakhirinya dengan senyum secukupnya.

"Harus ya, semua tentang pekerjaan," Kirania mendengkus. "Tapi oke deh, kalau itu maumu. Tapi ini lunch lho, Cak. Seserius-seriusnya urusan bisnis, tetap harus ada unsur fun di dalamnya."

Cakra mengangguk. "Silakan. Kalau itu bikin kamu nyaman."

Kirania mendelik, lalu mengembalikan perhatiannya kepada lima orang lain yang hadir bersama mereka. Menyimpulkan dari obrolan mereka yang seru, sepertinya mereka telah akrab sejak di bangku kuliah.

"Cakra," panggil Kirania lagi. "Ini temen-temenku pada nanyain, apa kamu punya darah Korea?"

Cakra tertawa pelan. "Enggak, kok," jawabnya lempeng sambil menggeleng.

"Pasti kamu udah bosen ditanya begitu, kan? Tapi temenku ngeyel, mengira kamu orang Korea beneran," Kirania tertawa lebar.

"Bilang aja, banyak orang Indonesia yang face-nya mirip orang Korea—"

"Gimana kalau kamu ngomong sendiri sama mereka?" tantang Kirania. "Dari tadi kamu pasif banget, Cak."

"I'm a good listener, Ran," tolak Cakra. Lalu tersenyum tipis kepada wajah-wajah yang menatapnya penuh harap. "Ganti topik aja. Mereka jauh-jauh datang ke sini untuk urusan bisnis. Bukan untuk mendengar obrolan omong kosong kamu dan saya," elaknya.

Menurut Cakra, mengungkap fakta tentang kakeknya dari pihak ibu yang merupakan keturunan Tionghoa dari Singakawang tidak akan menarik bagi Kirania dan teman-temannya. Kakek inilah yang mewariskan bentuk mata monolid padanya. Sedangkan ayah biologisnya, keluarga Ibrahim, merupakan keturunan Minang-Bugis. Dari merekalah postur tinggi ramping serta warna kulit yang bersih dan bentuk wajah panjang serta tirus itu berasal.

Cakra memang tidak mau menyombongkan diri. Tapi dia sadar pada daya tarik fisik yang dia miliki. Meskipun semua itu tidak berarti karena sejak masih belia dia telah belajar kalau ternyata bentuk fisiknya yang rupawan tidak menjamin hidupnya otomatis menjadi nyaman.

Makanan penutup di hadapan mereka sudah hampir habis. Namun Kirania dan teman-temannya masih mengobrol dengan seru. Sekarang mereka membahas aneka topik yang dipilih secara acak. Dan dalam beberapa kesempatan nama Cakra juga disebutkan.

"Kami penasaran, Cak. Nggak mungkin orang kayak kamu nggak punya pacar," kata Kirania.

Cakra menanggapi ocehan Kirania lagi-lagi dengan senyuman.

"Beneran, Cak? Ini bahas kamu lho!"

"Memang kenapa?" Cakra menggeleng. "Terserah kalian saja, mau percaya atau tidak. Nggak ada bedanya buat saya," sahutnya datar.

"Nggak ada satu pun? Bahkan cewek-cewek di kantor?" Kirania membulatkan mata.

Saat putri Keluarga Rahardja tersebut menyebut istilah kantor, tiba-tiba nama Jerini melintas di kepala Cakra. Sungguh tidak mungkin.

Jerini memang menarik. Namun wanita itu sedang sibuk dengan hidupnya sendiri. Sedang membenahi perasaannya yang pasti hancur setelah perceraiannya. Sebuah kondisi yang familier bagi Cakra. Karena ibunya mengalami hal yang sama. Tidak bisa pulih bahkan hingga mengembuskan napas terakhirnya.

Cakra bahkan ragu Jerini akan punya waktu untuk memikirkan dirinya.

Lalu seolah kebetulan yang sudah direncanakan, sebuah notif tiba-tiba muncul di HP-nya. Memberitahu Cakra kalau ada yang mengirim pesan.

Cinta yang SederhanaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora