BABAK 1

2 0 0
                                    

Cintanya terkubur dalam abu, bersemayam dalam asap dan terdengar dalam isak duka. “Bagaimana aku bisa kembali pulang, jika ragamu bahkan tak dapat kubedakan dalam butir debu?” Ucapnya dalam rintihan tangisnya tiap malam di dalam mimpinya.

Semua telah berubah menjadi arang dan debu halus. Pakaian yang terkoyak, darah yang mengering, serta potongan kayu yang menghitam. Tak ada satu pun jejak kehidupan di dalam kediaman itu. Ketika lelaki itu berdiri di tengahnya, tempat dimana semua tragedi naas itu terjadi. Dia pun berlutut dengan satu kaki dan menundukkan kepala, seolah memberi hormat kepada seseorang. Tetapi tempat itu telah menjadi muara para hantu selama dua dekade terakhir. Tidak ada seorang pun yang berani menginjakkan kaki mereka ditanah petaka itu. Hingga dia datang bersama dengan seseorang yang kini berdiri di belakangnya.

"Anda tidak akan menemukan apa yang anda cari disini tuan."

"Lalu dimana aku bisa menemukannya?"

"Mereka telah pergi tuan, kita harus merelakannya."

"Tanpa keadilan sama sekali!?" Lelaki itu kini bangkit dari posisi berlututnya. Dia kemudian membalikkan badan dan menatap lelaki yang berdiri di belakangnya dengan tatapan penuh amarah.

"Apa yang bisa kita lakukan tuan? Keadilan tidak datang dimasa lalu, bagaimana keadilan akan datang disaat semuanya telah musnah?"

"HATI-HATI JIKA BERBICARA! AKU BISA SAJA MEMOTONG LEHERMU HANYA KARENA UCAPANMU YANG SEMBRONO!" Dia membentak dengan lantang, sambil menahan amarahnya dengan tangannya yang terkepal.

"Tuan Gentala, sebaiknya anda pulang. Hanya ini yang bisa saya katakan."

"Aku akan membangun kembali tempat ini, dan menunggunya kembali."

"Tidak perlu tuan, karena tidak akan ada yang kembali." Ucap lelaki itu lagi, kemudian dia pergi meninggalkan Gentala sendirian di tengah puing kediaman sebuah keluarga besar yang telah lama hancur, yang telah lama dilupakan, tetapi panjinya masih terpampang pada aula Kerajaan Anala. Salah satu keluarga pendiri yang dulunya dihormati, disayangi oleh semua masyarakat namun karena satu dan lain hal mereka harus dimusnahkan. Rakyat pun berduka cita, Sang Raja pun kehilangan sahabat, penasihat serta saudara terbaiknya. Walaupun para menteri menginginkan hak-hak kebangsawanan mereka dihapuskan karena mereka dianggap telah berkhianat, Raja Anala tidak pernah melakukan hal itu. Seolah menunggu kedatangan mereka kembali, Raja Anala tetap memajang simbol keluarga Hardiyata pada dinding aula istananya.

"Jika aku mati, dan mereka kembali… berikan tahta ini kepada mereka." Ucap Raja Anala kepada putrinya.

"Ayah, mengapa ayah berkata seperti itu?"

"Jika mereka tidak punya tempat untuk kembali, kamu harus memberikan kerajaan ini kepada mereka untuk kembali putriku."

Putri kerajaan Anala, putri Neoma Arutala yang merupakan seorang putri tunggal dari Raja Anala, Raja Dewangga Arutala. Kini dia berdiri di hadapan ayahnya yang juga merupakan seorang raja itu. Dia tahu ayahnya diliputi rasa bersalah selama bertahun-tahun. Tetapi nasi telah menjadi bubur, apa yang terjadi di masa lampau tidak dapat diputar kembali. Jika pun bisa, apakah ayahnya akan merubah keputusan yang akan diambilnya? Neoma ragu hal itu akan dilakukan oleh ayahnya. Meski merasa telah begitu cukup mengenal ayah selama ini, mendengar ucapan ayahnya, cukup membuat Neoma merasa sedikit terkejut. Separah itukah kesalahan yang telah terjadi? Pasalnya Neoma merasa, baik terjadi dan tidak terjadinya tragedi itu tidak memberikan dampak yang begitu besar baginya. Tentu saja, itu karena Neoma tidak mengenal tuan Hardiyata dan keluarga kecil bahagianya. Sedangkan ayahnya, Raja Dewangga Arutala telah mengenal mereka bahkan jauh sebelum para Hardiyata kecil itu lahir. Baginya apapun yang terjadi setelah tragedi itu merupakan sebuah kemunduran. Sebuah kemunduran kejayaan dari dia menduduki tahta hingga kini tengah berjalan tiga puluh tahun lebih kursi kekuasaan itu didudukinya.

LAKUNADonde viven las historias. Descúbrelo ahora