Jerini mengernyit, masih belum memahami arah pembicaraan Mbak Ratna.

"Dan Pak Rahardja panggil anaknya pulang bukan tanpa alasan. Tapi biar Pak Cakra membantu membenahi usaha fashion Kirania yang dia bangun di Amerika gitu."

"Business analyst emang Cakra banget sih, Mbak. Termasuk memperbaiki sistem perusahaan—"

"Hus! Kamu jadi orang mbok ya jangan polos-polos amat, Rin. Itu hanya salah satu trik Pak Rahardja yang sempat aku dengar. Nih, percayakan sama sekretaris kayak aku untuk urusan gosip bos-bos itu," Mbak Ratna tertawa tertahan. "Pak Rahardja sengaja itu, dalam rangka menyiapkan Pak Cakra untuk menjadi penggantinya."

"Bukannya biasanya yang jadi penerus itu anaknya ya, Mbak?"

"Anaknya cuma satu, Rin. Kirania kabarnya nggak mau nerusin bisnis bapaknya—"

"Ya udah, jual aja perusahaannya. Atau pakai komisaris—"

"Atau cari menantu orang kayak Pak Cakra. Beres. Semua dapet. Menantu tepercaya dapet, penerus usaha juga dapet."

Jerini memang tahu gosip tentang Cakra yang katanya menjadi calon mantu sang CEO. Namun setelah beberapa kali ngobrol dengan pria itu, dan mengetahui fakta kalau Cakra hanya berasal dari keluarga sederhana yang ibunya bekerja sebagai pembantu, Jerini jadi ragu akan kebenaran isu yang beredar. Masa iya owner bisnis macam Pak Rahardja mau memiliki menantu orang biasa?

"Berarti latar belakang Pak Cakra sudah diselidiki banget ya, Mbak." Karena sepertinya agak tidak masuk akal kalau keluarga Rahardja tidak menyelidiki lebih dulu asal-usul Cakra.

"Nggak usah diselidiki. Karena Pak Cakra itu ternyata anaknya pembantu pribadi Bu Diana Rahardja."

"Bisa ya, Mbak, orang kaya malah milih anak pembantu buat dijadiin menantu?" Jerini mengernyit heran.

"Justru sebenarnya orang kaya itu aslinya kuper dan insecure, Rin. Pergaulannya sempit, terbatas, dan serba diatur. Serba khawatir sama orang luar yang mungkin akan manfaatin anak-anaknya dengan berbuat curang. Makanya, kalau ada orang dekat yang sudah dikenal, apalagi yang kualitasnya kayak Pak Cakra, wajar dong, diincar duluan. Sama-sama saling membutuhkan."

"Hubungan yang transaksional—"

"Lha ancen, semua hubungan itu transaksional. Nggak mungkin enggak. Awakmu iki, wes pernah nikah, kok gini aja masih nggak paham."

Jerini terkejut. "Masa sih, Mbak?"

"Rin ... Rin ... mana ada hubungan tulus ikhlas antar suami istri? Semua transaksional," Mbak Ratna tertawa geli. "Aku nikah karo bojo, karena aku butuh perlindungan dan dinafkahi. Suamiku juga gitu, nikahi aku karena butuh kenyamanan dan butuh diurusin. Adil kan? Imbal balik. Yang kayak gitu sebenarnya wajar. Take and give. Asal sama-sama sepakat.

"Herannya, orang zaman sekarang banyak yang malu dan nggak mau jujur mengakui kenyataan kalau pernikahan itu benar-benar hubungan transaksional saling menguntungkan dengan kerugian ditanggung berdua. Orang zaman sekarang, para influencer di media sosial itu, bukannya menjabarkan fakta kalau sebenarnya pernikahan tak lebih adalah barter kepentingan, malah muter-muter sok filosofis dan sok puitis dengan mengatakan kalau hubungan suami istri yang ideal itu harus berlandaskan keikhlasan. Iya, memang ikhlas itu yang utama. Ikhlas untuk saling memanfaatkan dan dimanfaatkan. Dan itu transaksional."

Entah kenapa penjelasan Mbak Ratna terdengar masuk akal. Analogi sederhana yang seperti menampar kesadaran Jerini. Karena selama ini dia selalu merasakan sebagai pihak yang dimanfaatkan oleh Gandhi. Merasa dia pihak yang memberi lebih banyak. Merasa dia sebagai orang yang berjuang sendirian.

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now