"Nyatanya emang begitu, kan? Kenapa cuma sama Tommy?"

"Kan Mbak Dewi masuk tim belakangan? Itu juga saya tahunya dari Bima, Mbak. Setelah saya handover semua tanggung jawab pada Tommy sebelum pindah divisi. Jadi kalau ada kasus seperti ini, Mbak Dewi tinggal tanya ke Tommy, karena kalian satu tim. Bukan sama saya lagi. Apalagi kalau Mbak Ratna sampai harus panggil saya—"

"Rin, wes talah ojo pakai 'saya-saya' segala. Kupingku gatel!" potong Mbak Ratna yang juga terlihat sebal.

"Terus gimana ngomong—"

"Pakai lo gue aja kayak kebiasaanmu pas pertama ke sini. Cocok tuh, buat dipakai ngasih penjelasan sama Dewi. Barangkali dengan begitu dia bisa nyambung," omel Mbak Ratna sambil melotot judes pada Dewi. Sebagai senior, wajar memang Mbak Ratna kesal.

"Mbak—" Jerini nyengir sambil menatap Dewi serta Mbak Ratna bergantian

"Logat Jakartamu lebih enak didengar, Rin. Cocok sama tampangmu yang sok priyayi dan agak sombong gitu," sahut Mbak Ratna ngasal. "Jangan lagi sok-sokan ngomong Jawatimuran. Nggak cocok blas,aneh di kupingku."

Ini pasti karena Mbak Ratna terlalu kesal sampai-sampai Jerini kena garuk juga. Antara terkejut, geli, sekaligus sebel sih dibilang begitu. "Sok priyayi dan agak sombong itu konsepnya kayak gimana, Mbak?" protesnya.

Karena bukan sekali ini saja ada orang menyebutnya begitu. Gandhi mengatakan hal serupa. Bahkan mantan ibu mertuanya pernah secara tak sengaja dia dengar menyebutnya begini. Tepatnya "istrimu yang sombong dan sok priyayi" saat berbicara pada mantan suaminya.

"Yo koyok awakmu iku. Muka-muka metropolitan, ngomong lo gue diselip-selipin bahasa keminggris."

Yaelah!

"Terus ini gimana nasib form business trip-ku?" sahut Dewi menyela sambil membelalak dan menunjuk kertas di meja Mbak Ratna. Terlihat jelas wanita itu bete karena perhatian teralih dari dirinya.

Bagi telinga Jerini, sikap Dewi benar-benar kasar tak beretika. Dia jadi maklum kenapa orang menyebutnya Dewi sebagai tukang ribut dan suka cari musuh.

"Yo urusanmu dewe, Wi. Kenopo koen kok nggak telepon Tommy ae?" (Ya urusanmu sendiri, Wi. Kenapa kamu nggak telepon Tommy aja).

Mbak Ratna memang kalau sudah nantangin orang suka bener. Orang kayak Dewi mah, emang harus dislepet.

"Tapi ini salahnya Jerini kenapa nggak—"

"Udah! Udah! Kali ini gue ngalah biar kalian nggak saling jambak. Nggilani, udah pada tua!" potong Jerini akhirnya. Tidak tahan dengan segala keabsurdan mereka. "Ini form-nya, Mbak Dewi?"

Dewi mengangguk sambil mendengkus. Isu senioritas yang toksik di perusahaan ini kayaknya memang benar. Dengan tabiat para senior yang mendewakan diri sendiri hanya karena lebih lama bekerja. Dan Dewi adalah gambaran sempurna dari gosip itu.

"Ini Pak Cakra mau ke Medan, kan? Nah, sebelumnya, lo harus hubungi orang kantor cabang sana dulu buat cari tahu soal akomodasi dan transportasi—"

"Bukannya urusan akomodasi dan transportasi itu job dari corporate secretary?" potong Dewi yang menatap Mbak Ratna dengan tatapan menuduh.

"Iyo, Wi. Iyo. Itu tugasku. Tapi kalau ngadepin Pak Cakra, aturan itu nggak berlaku!" Mbak Ratna sampai berkacak pinggang.

"Gimana bisa nggak berlaku? Ini kan, standar—"

"Kamu mau bantah sampai lambemu ndower yo nggak bakal bisa. Emang e jabatanmu opo mau bantah Pak Cakra?" ejek Mbak Ratna dengan nada merendahkan. "Mau nurut apa kata Jerini nggak? Kalau nggak mau, yo wes. Minggat sana dari sini. Ora urusan!"

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now