CHAPTER 1 : KOTA BERDARAH

605 57 0
                                    

Desember 1939



Suara tembakan terdengar di mana-mana. Semua orang sipil kini berusaha menyelamatkan diri mereka dari serangan negara yang menjajah mereka secara mendadak.

Bom atom itu membuat sebuah menara pusat kota meledak tak bersisa dan menimpa bangunan di sampingnya. Korban jiwa berjatuhan, dalam semalam mereka menghancurkan setengah kota.

Aparat keamanan negara kini sudah berusaha melawan para menjajah dengan sekuat tenaga. Karena datangnya mendadak jadi mereka tak bisa melakukannya dengan maksimal, hal asil dalam beberapa hari mungkin akan ada banyak korban jiwa.

Tempat itu kini seperti kita mati, bangunan nampak seperti bangunan terbengkalai dan aroma anyir di mana-mana. Api juga bertobat di beberapa tempat menyebabkan kepulan asap memenuhi kota.

Tuhan pun seperti menangis melihat keadaan kota yang hancur lebur, tetesan air hujan turun dari langit membuat suasana menjadi semakin mencekam.

Di saat seperti itu, beberapa warga bersembunyi di sebuah tempat. Mungkin tak lama hingga membuat para menjajah itu bisa menemukan mereka.

Tanpa makanan dan pencahayaan mereka bersembunyi di sebuah goa tua yang berada di pinggir kota. Goa yang awalnya digunakan sebagai pusat aliran air dan pembuangan limbah.

Seorang pria dengan pakaian seragam sekolahnya kini duduk sembari memeluk kedua kakinya. Pikirannya benar-benar kalut memikirkan di mana kedua orang tuanya berada.

"Minho ayah dan ibu mu datang" suara itu membuat si manis mendongkakan kepalanya. Pria muda itu bangun kemudian menatap kedua orang itu. Wajah yang penuh arang dan luka itu langsung memeluk Minho dengan erat.

"Syukurlah kau di sini" kata sang ayah. Minho menangis saat itu juga. Dia benar-benar  berpikir tak akan pernah menemui mereka lagi.

"Kalian di sini ya" kata sang ayah tiba-tiba melepaskan putranya. Minho dipeluk kini oleh sang ibu dengan erat. Pria dengan pakaian tentara itu tersenyum pada kedua orang tersayangnya.

"Ayah diam di sini, jangan pergi" katanya berusaha mencegah pria paruh baya itu pergi. Sang ibu berusaha menahan Minho.

"Aku akan kembali, jadi kalian harus tetap di sini. Aku menyayangi kalian" kata pria itu dengan senyuman cerah dan mata berkaca-kaca itu.

"Tidak ayah" Teriak Minho, sang ayah berlari membelah kerumunan orang di depan mereka keluar dari tempat persembunyian.

"Minho jangan seperti itu, ayah pasti kembali. Mereka akan mengusir para menjajah kejam itu" kata sang ibu berusaha menenangkan anak sematawayangnya. Minho mengangguk sembari meremas jari ibunya.

"Ibu ada di sini, jangan khawatir ya nak" katanya memeluk kesayangannya. Minho pun akhirnya mengangguk dan mulai tegang.

Semakin hari suasana semakin mencekam dan mengerikan. Suara dentuman keras itu kini telah terdengar dari dalam tempat persembunyian.

"Apa kita semua akan mati?" Guman seseorang dengan pandangan kosongnya. Setelah diam di sana membuat dirinya kehilangan akal sehat dan pasrah.

"Lebih baik mati, daripada menjadi budak mereka kan?" Tanya mereka lagi. Semua orang langsung diam dan memeluk semua anggota keluarga mereka. Termasuk Minho .

"Ibu aku ingin melihat ke luar sebentar ya" kata si manis pada ibunya. Wanita itu agak takut namun, sepertinya Minho kini sangat bosan dan mungkin perlu udara segar.

"Ibu antar ya" kata wanita itu. Minho menggeleng dan melepaskan pelukan ibunya.

"Sebentar saja ibu, aku juga ingin buang air kecil" katanya.

Minho mulai melangkahkan kakinya keluar dari sana menyusuri gelapnya goa itu. Mungkin lebih tepat dipanggil dengan sebutan terowongan.

"Arhh" Minho terkejut ketika mendengar dentuman keras itu lagi. Apa para penjajah sudah sampai di dekat sana. Minho berusaha berpikir positif, pasti mereka bisa dikalahkan.

Rintihan air hutan membasahi rambut hitamnya ketika Minho berhasil keluar dari sana. Di lihat dari sana, kota kini sudah seperti tak berpenghuni dan hanya dihiasi oleh kepulan asap.

Mata Minho berkaca-kaca melihatnya, kota indahnya kini sudah berubah menjadi kota mati yang lebih seperti sebuah neraka.

"Apa aku akan mati ? Sampai kapan akan seperti ini?" Gumam Minho sembari menunduk menatap ke aspal. Suara pesawat perang terdengar di atas kepalanya. Minho pun bergegas menuju tempat untuk buang air.

Ketika dia akan membuka celana, sesuatu berbentuk bulat tergelinding di kakinya. Minho berusaha menatapnya dengan seksama, seketika tubuhnya bergetar melihat hal tersebut.

Bukan sebuah bola, melainkan itu merupakan kepala manusia. Minho mundur beberapa saat kemudian. Dirinya langsung menjongkok ketika mendengar suara dentuman yang sangat keras yang berasal dekat dari sana.

"Ibu?" Gumam Minho ketika melihat goa itu kini meledak. Kepulan asap hitam itu nampak dari sana. Api besar berkobar terlihat di puing-puingnya.

"Ibu tidak ibu" kata Minho berusaha kembali, terdengar suara langkah kaki menuju ke sana beserta suara tembakan renyah. Minho menutup mulutnya langsung berbalik dan bersembunyi.

"Sepertinya semuanya hancur" kata salah satu orang. Mulut Minho dia tutup dengan rapat, air katanya kini mengalir jatuh di pipi.

"Kita hancurkan semuanya" kata mereka lagi. Ketika mereka beranjak pergi, si manis mundur dan berlari masuk ke dalam tumbuhan lebat itu. Kakinya terus berlari, tak peduli apa yang akan ada di depannya.

"Ibu ayah" gumam Minho sambil berlari. Tubuh Minho tiba-tiba ambruk ke tanah, tangisannya pecah di dalam hutan itu. Ke mana dia kan pergi? Bagaimana keadaan orang tuanya? Pertanyaan itu kini kuncil di kepalanya.

Di saat seperti itu, perut Minho tiba-tiba bersuara. Sudah beberapa hari dia tidak makan, tubuhnya seketika lemas.

"Aku tidak boleh mati" gumam Minho berusaha bangkit. Pria manis itu kini masih berjalan menyusuri hutan. Hujan kini sudah mulai reda dan langit mulai semakin menggelap.

"Jam berapa ini?" Gumam Minho sembari memegang perutnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika menghirup aroma yang sangat wangi.

"Makanan" gumam si manis.









TBC

Jangan lupa vote dan komen ya

KISS. [BANGINHO] ✔️Where stories live. Discover now