PROLOG

41 5 11
                                    

Segala sesuatu yang kita ingin dan impikan memang tak bisa selalu menjadi milik kita. Tetapi untuk meraih sesuatu yang berharga dan bahkan seseorang yang sangat kita cintai, kita juga butuh pengorbanan untuk membuktikan apakah benar sesuatu yang kita inginkan itu akan ditakdirkan menjadi milik kita, atau hanya sebuah faktor figuran yang hanya sekadar lewat dalam hidup kita?

Apakah cinta sejati itu nyata di dunia?

Apakah pantas sesuatu yang kita anggap benar, lalu kita layak memaksakan semuanya sesuai kehendak kita tanpa memikirkan bahwa apa yang telah kita lakukan bisa menjadi tidak adil bagi seseorang, terlebih melukai hati yang terluka?

Tidak. Jika aku memikirkan jawabannya aku yakin aku tidak akan bisa memulai atau justru aku bisa lebih gila bila harus mengalami pertentangan batin sepanjang hari.

Jadi, pada saat aku yakin untuk melakukan hal yang menurutku benar, aku sudah memutuskan akan datang ke rumah itu.

Ke rumah Om Aditya—papa kandungku.

Awal mula memang terasa sulit dan ragu. Namun, sejak membaca surat dari mama, aku membulatkan tekad untuk mencari keadilan untuknya.

Mama yang kesepian ..., mama yang malang ..., dan mama yang telah menderita begitu lama.

Dadaku terus aja bergemuruh tiap kali ingat kisah mama di atas kertas putih yang agak koyak. Mungkin aja itu akibat dari bekas tetesan air mata beliau tatkala menuliskan kisah hidupnya dengan hati yang hancur dan penuh harapan. Menulis sebuah masa lalu suram yang tak ingin beliau ingat kembali.

Aku juga sudah menghubungi nomor yang ditinggalkan mama dan beliau segera memesan tiket pesawat untuk menemuiku.

Besoknya aku pergi ke rumah Kak Kevan, bukan untuk membahas masalah perasaan tentang kami berdua, tetapi aku ingin bertemu dengan Om Aditya, Tante Viona bahkan sama nenek yaitu ibu dari Om Aditya.

Dengan mata berkaca-kaca aku berusaha menjelaskan semua bagaimana penderitaan yang dihadapi mama saat sendirian di negeri orang, bagaimana hancurnya perasaannya ketika cintanya harus dirampas oleh sahabatnya sendiri.

"Awalnya aku memang tidak berniat mengganggu keluarga bahagia kalian, aku bahkan tidak mau menjadi bagian dari keluarga ini. Tapi demi mama ...," Suaraku tercekat. Air mataku mulai menetes membasahi pipi saat pembicaraan sampai di sini, "aku rela memohon pada kalian. Demi mama, aku akan bersimpuh di hadapan kalian—"

"Frel, tolong jangan seperti ini," sela Om Aditya yang tiba-tiba berlari dari tempatnya duduk dan segera memegang tubuhku agar lututku tak menyentuh lantai. "Kamu nggak perlu berlutut. Katakan sama papa, semua keinginanmu akan aku penuhi."

"Semuanya?" tanyaku memastikan.

"Ya, semuanya, Nak. Apa pun itu."

Aku menyeka air mataku. "Nikahi mamaku secepatnya."

Semuanya hening. Hingga suara nenek terdengar.

"Frel," panggilnya sembari berjalan ke arahku menggunakan sebuah tongkat untuk menopang jalannya yang tertatih-tatih.

Aku amati sesaat, dahiku berkerut. Seingatku terakhir kali beliau tampak segar dan bugar, sementara sekarang terlihat lebih tua dan rapuh. Apakah saat semua terbongkar, efek yang timbul begitu berat bagi beliau?

"Cucuku Frel," ujarnya seraya memelukku.

Aku tersentak begitu merasakan pelukannya.

"Nenek senang kamu datang ke sini." Beliau membelai rambutku.

"Apa nenek kali ini merestui mama dan papa menikah sesuai keinginanku?" tanyaku langsung meski tetap mempertahankan kesopananku.

Beliau tersenyum hangat dan mengangguk pelan. "Ya, aku merestuinya. Nenek tidak mau melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Memang seharusnya nenek nikahkan mereka sejak dulu."

Aku, nenek beserta Om Aditya saling memandang dan tersenyum bahagia. Terlebih Om Aditya terlihat tertawa senang ketika memelukku. Kami sepakat melakukan acara pernikahan seminggu dari sekarang.

Om Aditya awalnya meragukan Mama Claretta, beliau takut mama menolak pernikahan ini. Tapi aku meyakinkan untuk urusan mama, serahkan padaku.

Semuanya berakhir setuju, kecuali Tante Viona. Dia hanya diam tanpa kata. Aku pun tak menanyakan hal itu padanya. Karena aku memang tak butuh persetujuannya.

***
Akad nikah diadakan secara sederhana. Hanya dihadiri oleh beberapa orang terdekat dan keluarga. Jangankan acara akad nikah, bahkan untuk acara pesta pernikahan pun yang awalnya Om Aditya dan nenek ingin membuat pesta besar-besaran dengan mengundang banyak tamu termasuk rekan bisnis mereka, itu pun harus terpaksa batal dikarenakan status mama yang kini masih terikat kontrak dengan agensinya dan beberapa kerja sama dengan pihak lain yang persyaratannya nggak bisa dilanggar.

Kak Kevan juga hadir, tetapi bisa ditebak, ia selalu menjauh dariku dan menghindari bertatap muka denganku.

Aku tak bisa memaksanya. Hingga sampai saat acara akad nikah selesai, ia tiba-tiba melihatku dari tempatnya duduk. Tatapannya seolah mengatakan selamat tinggal padaku, tetapi juga tersembunyi akan kesedihan yang luar biasa.

Bibirku kelu. Aku tak sanggup bicara. Aku hanya mampu memaksakan senyumku di depannya. Meskipun tetap aja Kak Kevan hanya diam menatapku, lalu tak lama kemudian ia berpaling dariku dan pergi dari hadapanku.

Aku menghela napas berat. Detik itu juga aku baru menyadari kesulitan apa yang akan aku lalui ketika harus tinggal serumah bersamanya.

Namun, kalian tahu ternyata pernikahan dengan dua istri yang tinggal bersama itu tidak mudah. Dua keluarga yang berbeda harus belajar menyesuaikan diri satu sama lain. Perasaan wanita sangat sensitif. Saat papa memberikan perhatian lebih ke mama, maka wajah Tante Viona akan tampak nelangsa dan menyedihkan.

Tatkala nenek dan aku di luar pergi bersenang-senang dengan shopping bareng atau bahkan melakukan sesuatu yang kami anggap menyenangkan, begitu sampai di rumah selalu aja pemandangan aneh yang kami dapati. Sebuah pemandangan yang terasa mencekam. Suasana sepi dan ketegangan selalu berada di antara mama dan Tante Viona.

Hingga beberapa bulan kemudian—tepatnya sehari setelah kelulusan Kak Kevan—kami akhirnya memutuskan untuk tinggal di tempat terpisah.

Sejak mama pulang ke Indonesia, mama telah membeli sebuah apartemen. Dan di sanalah kami tinggal sekarang.

Mama yang menginginkan, aku hanya menuruti beliau dengan hati lapang. Mama pikir ia tak pantas di rumah itu. Terkadang ia merenung sendiri. Ia sedih berada di tempat yang dulunya telah menjadi saksi di mana ia pernah diusir oleh nenek. Ia mengira mungkin ini yang terbaik bagi semua. Beliau pindah dan mengalah, memberi celah agar dirinya dan Tante Viona memiliki ruang dan privasi sendiri.

Akan tetapi keadaan makin berat sebelah, papa jarang pulang menemui Tante Viona. Papa sering berlama-lama tinggal bersamaku dan mama. Kami sering melakukan kegiatan bersama, jalan-jalan bersama, tertawa bersama, beliau juga sering memberikan kejutan untuk kami berdua dan jika boleh jujur, papa terlihat lebih bahagia saat dekat dengan mama.

Aku juga merasa mempunyai keluarga yang utuh. Keluarga yang dari dulu aku impikan. Ada mama, papa dan juga aku.

Walaupun semua terasa tak benar, tapi kami hanya manusia biasa. Ego yang tinggi masih mengikat kami sedemikian eratnya. Mengiris hati yang sudah terlanjur perih.

Menjadikan segalanya seolah tak sesuai pada tempatnya.

...............***.................

Hai, hai....

Akhirnya FREL 2 publish juga, setelah sekian lamaaaa wkwkwkk

Siapa nih yang kangen Frel dan menantikan Frel 2?

Sudah siap membaca kisah Frel dan juga Kenn yang kini udah pacaran? Hihihi ... yg pasti di sini lebih baper, geregetan, apalagi Frel 2 ini banyak kejutan2 yang akan hadir, termasuk masalah di keluarga Kenn juga.

Jangan khawatir di sini Kevan tetap ada kok.

Seperti biasa, jangan lupa komen dan follow ya❤❤😊😊

FREL 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang