"Gender issue?"

"Lebih tepat disebut personal issue. Dan sama sekali tidak berkaitan dengan kualitas pekerjaannya. She's good."

"Soal itu saya juga nggak ragu, Mas Cakra. Saya banyak dengar cerita tentang dia juga. Bahkan ada beberapa staf saya di sini yang menyayangkan kenapa dia pindah menjadi staf Mas Cakra. Jerini memang sebagus itu kok."

Bu Ida juga bagus, karena berbicara secara objektif. Semoga setelah Cakra menyampaikan fakta berikut, wanita itu masih tetap objektif.

"Jadi apa masalah Jerini, Mas? Saya perlu tahu sebagai bahan pertimbangan pribadi sih. Bukan yang gimana-gimana. Karena alasan Jerini akan mempengaruhi motivasi dia dalam bekerja dan saya butuh faktor itu."

"Meskipun personal issue, menurut saya alasan Jerini masuk akal karena murni dipicu oleh faktor eksternal yang mungkin akan terjadi terkait dengan statusnya yang sedang dalam proses menjadi janda."

"I see—"

Bu Ida sepertinya memahami. "Jerini menyampaikan kekhawatirannya terkait omongan negatif orang-orang di sini bila dia masih sering melakukan perjalanan bisnis bareng saya."

"Masuk akal," sahut Bu Ida. "Kalau begitu, saya cek dulu formasi staf marketing dan saya kabarkan secepatnya. Tunggu dua atau tiga menit. Oke?"

Sesuai waktu yang dijanjikan, Bu Ida menghubungi Cakra tak lama kemudian. "Bilang aja sama Jerini kalau saya tidak keberatan menerima dia kembali ke marketing. Nanti saya akan bicara langsung sama dia."

Cakra belum lama menutup obrolan dengan Bu Ida ketika terdengar pintunya diketuk. Saat melirik jam tangannya, pria itu tahu kalau Jerini yang datang. Tepat waktu seperti biasa. "Masuk!"

Benar, Jerini lah yang muncul. Salah satu hal yang banyak membantunya dalam bekerja adalah karena wanita itu tidak perlu perintah dua kali. Saat dia mengatakan sepuluh menit, maka sepuluh menit pula Jerini akan menuruti ucapannya tanpa ragu maupun bertanya lagi. Seperti kali ini.

"Saya sudah bicara dengan Bu Ida," kata Cakra sambil mempersilakan Jerini duduk di kursi yang berada di seberang mejanya. Detik berikutnya Cakra pun memaparkan kondisi yang baru disampaikan oleh bagian marketing.

"Karena saya belum menghubungi bagian SDM untuk staf pengganti di sini, meskipun kamu sudah dealdengan Bu Ida, kamu baru bisa pindah setelah saya mendapat kepastian siapa pengganti kamu di sini."

"Baik, Pak." Senyum Jerini melebar. Dan wanita itu mengucapkan terima kasih dengan tulus.

"Jadi, sudah ada kabar dari Ardian?"

Ekspresi terkejut di wajah Jerini memvalidasi dugaan Cakra kalau wanita itu tidak menduga dia akan bertanya demikian. Sebagaimana Cakra yang juga terkejut oleh apa yang dia ucapkan sendiri.

"Uhm ... alhamdulillah baik—"

"Prosesnya tidak ada hambatan kan?"

Sekalian. Cara terbaik untuk memperbaiki kecanggungan yang tak disengaja adalah terjun langsung dalam permaian kata yang sudah dia mulai sebelumnya.

"Jangan salah paham, Je. Saya bertanya karena saya yang mengenalkan kalian berdua. Jadi saya semacam punya tanggung jawab untuk memastikan teman saya bisa beneran bantu kamu."

"Oh," Jerini gelagapan. "Iya, Pak. Seperti saya bilang tadi. Alhamdulillah semua baik. Gandhi ... ehm ... karena Pak Cakra nanya, jadi saya jawab sekalian. Menurut Pak Ardian, Gandhi memutuskan untuk tidak hadir memenuhi undangan pada mediasi pertama. Selanjutnya, masih menurut Pak Ardian, semua tinggal menunggu proses dan beliau janji tak lama lagi putusan akan dibacakan."

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now