MANGSA

32 4 5
                                    

Aku tahu arah kalimat dia akan membahas apa. Aku pun memotongnya dengan, "Aku tahu anda akan mengungkit tentang Sampit. Tetapi, aku sarankan anda tidak menggunakan argumen itu untuk merendahkan sesama manusia.

"Warga Dayak tidak pernah memulai konflik sebelum ada yang memulainya duluan. Mayoritas mereka hidup nomaden karena mereka percaya bahwa tanah ini pemberian Yang Maha Kuasa. Dan, mereka cenderung tidak memegang konsep 'kepemilikan' harta seperti kita.

"Nah, menurut kamu, apakah masuk akal seorang suku yang hidup dari 'Tanah Tuhan' dengan berburu dan bertani memulai pembantaian tanpa ada alasan?"

Rasa takut dia kemudian berubah menjadi rasa malu. Dia menjawab, "He he..., harus –"

Kalimat dia kembali terputus. Tetapi, kalimat dia terputus untuk selamanya.

Sebuah tombak telah melesat dan membelah kepala pemuda itu menjadi dua. Dia tumbang dan tunangannya tergeletak, terlepas dari topangannya.

Adrenalin dari horor yang kuhadapi memompa semakin keras. Aku tidak tahu harus bertindak apa.

Aku membeku di tengah langkahku sendiri.

Tiba-tiba, perempuan itu terbangun. Dia menopang setengah berat badannya dengan satu lengan kepada permukaan tanah. Matanya pun memandang kepada almarhum tunangannya. "AAAARRRHH!!!!" teriak dia panik.

Aku pun ikut merasakan panik yang sama. Aku bergegas mengambil tombak itu dan membungkam sang perempuan. Tetapi, perempuan itu tangguh. Dia mendorongku sambil berteriak, "Kau pembunuh! KAU PEMBUNUH! TOLONG!!!"

"Mba! Mba! Mba! Dengarkan saya!" seruku seiring membungkam mulut perempuan itu. "Aku tidak membunuh tunanganmu. Orang lain yang melakukannya dan aku tidak tahu siapa.

"Aku berencana untuk keluar dari tempat ini dan tunanganmu juga memiliki niat yang sama.

"Sekarang, apakah Mba akan ikut aku keluar atau ti –"

Sekarang, kalimatku yang terputus secara tiba-tiba. Aku merunduk bersama sang perempuan kepada permukaan tanah, sebuah tombak melesat ke arah kami. Lesatan itu kemudian disusul oleh seruan amarah seorang bapak-bapak tua. "AKU TAHU KAU YANG MELEMPARKAN TOMBAK ITU!!!

"PASTI KAMU YANG MENCULIK KAMI UNTUK TERLIBAT DALAM PERMAINAN LAKNAT INI!!!

"AKU KEHILANGAN ISTERI DAN A –"

Sebagai seorang akademisi, aku berdiri dan berupaya bernegosiasi dengan laki-laki itu. "Pak!" seruku. "Kami tidak terlibat dalam hal ini. Kami pun ko –"

Kepalan dia bertemu dengan mulutku. Darah mengalir dari pipi hingga ke gusi, bercampur dengan air ludah. Orang itu telah terbutakan amarah, dia tidak memberikan ruang untuk berbincang.

Aku lengah. Tombakku terlepas dari genggaman. Dia menggunakan kesempatan itu untuk mencekikku. Genggaman dia begitu keras sehingga aku tidak kuat untuk melawan.

Kemudian, aku mendengar sebuah dentuman keras. Genggaman dia perlahan melemah. Darah mengalir dari pelipis pria itu seiring matanya menatap kosong kepada pepohonan di belakangku.

Saat aku menoleh, aku mendapati perempuan itu bernafas terbata-bata. Dia telah melemparkan sebuah batu dengan kerasnya hingga orang itu tewas.

"Kita harus segera keluar dari sini," ucap dia. "Sepertinya sudah banyak yang terjadi di dekat hangar. Semua orang sudah saling tidak percaya dengan siapa-siapa. Mereka akan menyerang siapapun yang mereka nilai sebagai ancaman."

Aku tidak berkata apa-apa. Aku tidak memiliki pilihan lain kecuali untuk setuju dengannya.

Kami pun berlari bersama mengarah kepada pesisir pulau.

Kami melangkah di antara pepohonan-pepohonan yang berdiri tegap menjaga tanah Kalimantan. Langkah kaki kami begitu berat karena dikekang oleh ribuan ilalang dan tanah yang berlumpur.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 15, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MANGSAWhere stories live. Discover now