Chapter 11

12K 733 43
                                    

Aktivitasnya yang padat sudah Rony tuntaskan tepat pada pukul lima. Keinginannya untuk lekas pulang terpaksa ia tunda demi menepati janjinya pada Nadlyne. Gara-gara mulut berbisa Paul, Rony harus merogoh kocek puluhan juta untuk memenuhi keinginan kekasihnya. Sebenarnya ini bukan masalah bagi Rony, hanya saja laki-laki itu kurang menyukai aktivitas keliling mall yang memakan waktu hingga berjam-jam lamanya. Namun, apa boleh buat, dirinya sudah terjebak bersama Nadlyne di dalam mobil menuju Grand Indonesia.

Seperti umumnya kota Jakarta yang padat setiap harinya, kemacetan lalu lintas adalah makanan sehari-hari. Pukul lima sore adalah waktu ramainya lalu lintas. Para pencari nafkah biasanya sudah mulai berhamburan di jalan raya mengingat jam pulang kantor yang telah tiba. Mobil dan motor bercampur padu di jalan Ibu kota yang dilindungi awan kelabu. Rasanya pemandangan gedung perkantoran Jakarta tak lagi menjadi peralihan rasa bosan mereka sehingga bertukar cerita mungkin bisa menjadi opsi lainnya.

"Kata teman aku tadi waktu jam makan siang ada Alliyah loh Ron" tutur Nadlyne dengan penuh semangat. Rony terkejut, "Alliyah?" tanyanya berpura-pura tidak tahu. Meski jelas sekali siapa yang dimaksudkan Nadlyne.

Nadlyne mendengus malas, "Penyanyi terkenal itu loh Ron, yang lagunya super famous di media sosial" ucap Nadlyne. Tak masalah bila ada yang mengenali Alliyah, siapa yang tidak tahu perempuan itu. Tapi, bukankah bila teman Nadlyne itu melihat Alliyah besar kemungkinan juga melihat Rony.

"Oiya, dia sendiri? Mungkin ada keperluan di rumah sakit ini Nad." Rony mulai grogi.

"Yang dilihat sama teman aku sih sendiri, tapi mungkin ditemani" jawab Nadlyne.

"Sayang sekali aku nggak bisa foto bareng, padahal lumayan kan dapat foto sama artis" kata Nadlyen bersemangat. Disusul dengan tawa tipis dari keduanya. "Pansos sedikit boleh kali sayang" tambahnya.

"Buat apa pansos begitu?!" Rony tidak terima. Ekspresi Rony saat-saat seperti ini sungguh Nadlyne sukai. "Ya biar aku terkenal Ron, banyak followers-nya, banyak yang suka sama aku. Nggak cuma kamu doang" ucap Nadlyne memanas-manasi Rony.

"Nad!?" Rony melirik tajam, bukannya merasa takut dan lekas mengakhiri jahilnya itu, Nadlyne justru terus mengobarkan api. "Jadi kalau suatu saat kamu ninggalin aku, masih banyak laki-laki yang bisa menggantikan kamu."

"Nad, kamu serius ngomong begitu" Rony semakin terbakar. Baik, Nadlyne rasa harus segera mengakhiri tingkahnya ini sebelum Rony bertambah menyala. "Bercanda sayang, mana berani aku ..."

"Lagian aku cintanya sama kamu seorang. Nggak ada yang lain, peace." Nadlyne memeluk lengan Rony sambil memberikan kecupan-kecupan tipis di bahu sang kekasih. Rony mengusap kepala Nadlyen pelan, "Kamu sayang sama aku kan Nad?" Nadlyne tentu langsung mengangguk. "Jika suatu saat aku ternyata menyakiti hati kamu, apa kita masih bisa berhubungan baik?" tanya Rony.

Nadlyne tertegun. Rony menyakitinya? Jika itu terjadi, Nadlyne tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Rony adalah laki-laki terbaik yang Tuhan kirim untuknya, jika Rony menyakitinya, Nadlyne merasa dirinya lah yang telah melakukan kesalahan. "Aku akan mati Ron" lirih Nadlyne.

"Nad ..." sejenak cemas timbul di hati Rony, apa benar akan begitu jadinya. "Bukan ragaku Ron, tapi jiwaku. Jiwaku akan mati karena rasa sakit yang kamu beri. Tolong ... tolong jangan pernah melakukan itu Ron."

Rony mengangguk mantap meski hatinya mengatakan hal berbeda. "Aku sudah menyakiti kamu Nad, aku sudah membuat jiwa kamu mati,"

***

Setelah empat puluh lima menit berkendara, kini mobil yang dikendarai sudah mengantarkan mereka ke tujuan. Sejenak Nadlyne dan Rony lupakan dulu pembahasan mereka di mobil tadi yang sukses membuatnya dilanda kecemasan. Saling bergandengan tangan dengan begitu mesra, melempar tawa bahagia kepada satu sama lain seolah pembicaraan tadi tidak pernah terjadi. Inilah kunci harmonis sebuah hubungan.

Sandyakala [Proses Revisi]Where stories live. Discover now