Bagian 1 : -Kebenaran Pahit-

Mulai dari awal
                                    

"Itu rencana yang sangat berbahaya tahu." Sakti memperingatkan seraya bersedekap.

"Tidak berbahaya kalau aku tahu cara berkelahi dan menembak."

"Memangnya kau tahu caranya?"

"Aku bisa mempelajarinya sendiri. Hal-hal semacam itu sekarang mudah dicari di internet."

"Berlatih sendiri itu berbahaya karena tidak ada orang yang mengawasimu."

"Kalau begitu maukah kau mengajariku caranya berkelahi dan menembak?"

Sakti terdiam dan tampak sedang berpikir keras. Kali ini cukup lama sampai Kristal mengira pemuda itu sudah berubah jadi patung.

"Kau pasti tidak mau ya?"  Kristal memberengut. "

"Bukan begitu, Manis...."

"Tidak masalah. Aku bisa belajar sendiri. Lihat, sekarang aku sudah punya pistolnya." Kristal mengangkat sepucuk senjata api dan memutar-mutarnya bak seorang penembak profesional.

"Tunggu!" Sakti tersentak kaget, saat tidak menemukan Kimber di pinggangnya, kemudian merebut senjata api tersebut dari tangan Kristal secepat kilat. "Bagaimana kau melakukannya, gadis nakal?"

"Aku mempelajarinya dari pencopet profesional di internet."

"Astaga." Sakti menepuk dahi. "Kau benar-benar penuh kejutan."

"Tidak lama lagi aku juga bakal bisa menembak."

"Jangan sekali-kali berani mencobanya tanpa pengawasan."

"Kalau begitu bagaimana kau saja yang mengawasiku?"

"Tidak."

"Oke, tidak masalah." Kristal tersenyum sangat lebar hingga membuat Sakti mengerang pasrah.

"Baiklah, dengan satu syarat...," Sakti bergerak maju dan membisikkan sesuatu di telinga Kristal. "jangan sampai ada orang yang tahu kalau aku yang mengajarimu, aku masih belum mau mati. Ini antara kita berdua saja, oke?"

Kristal mengangguk antusias, sementara Sakti mengedipkan sebelah matanya penuh rahasia, sebelum kembali berbicara pada Indira.

"Ma'am, berapa lama gadis ma-nis ini tinggal di sini?"

"Enam bulan." Indira mengerang putus asa seraya menepuk dahinya. "Astaga, aku belum sempat mencari orang untuk menjaganya selama aku bekerja. Aku tidak mau dia ditinggalkan sendirian tanpa pengawasan. Kau tahu, bulan lalu dia membuat dapur rumah kakakku hangus terbakar dan minggu lalu dia berhasil mengutil barang di toko perhiasan tanpa terdeteksi."

Sakti mengangkat sebelah alisnya, lalu menatap Kristal. "Gadis nakal," ujarnya tanpa suara dengan ekspresi marah yang dibuat-buat sampai membuat Kristal terkikik geli.

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku saja yang menjaganya selama kau bekerja? Lagipula belum ada pekerjaan untukku dalam waktu dekat kan?" Sakti menawarkan diri.

"Kenapa kau mau menjaganya?" Indira menyipitkan mata curiga. "Apa kau bisa dipercaya?"

"Tentu saja. Aku sudah tobat."

Indira mengangkat alisnya, sangsi. Tatapan wanita itu perlahan jatuh pada setiap tindikan di wajah pemuda itu, kemudian beralih ke tato yang mengintip di bawah tangan.

"Aku bisa melepas semua tindikanku atau menghapus tato-tatoku kalau kau berpikir itu akan memberi pengaruh buruk padanya."

"Tentu saja kau harus. Aku pasti sudah gila kalau mempercayakan gadis kecil polos ini kepada preman sepertimu!"

"Ayolah, Ma'am, jangan begitu. Aku sangat suka gadis kecil."

"Apa maksudmu?" Indira melotot.

"M-maksudku aku suka bermain dengan gadis kecil."

Cahaya NegeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang