Prolog

971 245 38
                                    


Kristal benci ketika hidupnya berubah arah dengan cara yang tidak terduga. Misalnya saja saat usianya baru menginjak tujuh tahun. Tiba-tiba saja Kristal terbangun di sebuah tempat yang benar-benar asing, sementara ingatannya sebelum terbangun bisa dibilang nyaris nol. Kristal menatap dua orang wanita dengan wajah yang identik berdiri di samping ranjangnya. Meski ruangan itu sangat terang dan cerah, tetapi Kristal sama sekali tidak merasa senang.

"Halo, Sayang,"  ujar salah seorang wanita yang mengenakan gaun santai berwarna putih gading yang bersih seraya mengedikkan bahu ke arah wanita berpakaian serba hitam yang penuh debu.

Kristal memicingkan mata dengan waspada. Apakah ini akhirat? Apa kedua wanita di depannya adalah jelmaan malaikat yang sedang berembuk tentang siapa yang akan membawa Kristal?

"Perkenalkan, aku Andara dan dia adikku, Indira."

Kristal menatap wanita bernama Andara tajam. Wanita itu adalah sosok yang feminin, keibuan dan ceria. Jauh berbeda dengan wanita bernama Indira yang tampak tangguh, waspada, tetapi lebih banyak diam.

"Mulai saat ini namamu Kristal." Andara kembali bicara.

"Itu bukan namaku!" teriak Kristal tak terima. "Namaku Cahaya Ber―"

"Berlian. Ya, kami tahu, itu nama ibumu. Sayangnya, sekarang keadaannya sudah berubah." Andara menatapnya hangat dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya.

"Apanya yang berubah?" Kristal mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari sosok wanita yang melahirkannya. Namun, sosok familiar yang dicintainya itu tidak terlihat di mana pun. "Mana ibuku?"

"Ibumu sudah tenang. Mulai sekarang aku adalah ibumu," jawab Andara tegas.

"Tidak! Mana ibuku? Kau bukan ibuku!"

"Memang bukan, tapi aku yakin ibumu ingin yang terbaik untukmu. Begitu juga aku."

Sebuah pemahaman tiba-tiba muncul di benaknya yang masih terbilang polos. Meski begitu, Kristal tidak benar-benar polos. Sejak kecil ia sudah memiliki ingatan yang sangat kuat.  Kebanyakan ingatan itu sangat mengerikan bagi seorang gadis berusia tujuh tahun.

"A-apa ibuku... sudah m-mati?"

Andara mengerjap dan memandang Indira penuh arti. Kristal kira ia akan melihat wanita cantik itu berlagak tidak tahu, lalu mengalihkan pembicaraan pada hal lain yang tidak penting seperti boneka atau hadiah. Namun, tindakan wanita itu berikutnya benar-benar membuat Kristal terkejut.

Andara duduk di atas ranjangnya, lalu sedikit membungkuk hingga tatapan mereka sejajar. "Aku turut berdukacita atas kepergian ibumu, Kristal."

"Namaku bukan Kristal." Kristal membuang muka.

"Kau harus membiasakan diri."

"Kenapa aku harus menggunakan nama konyol itu?"

"Ibumu meninggal karena dibunuh," sahut Indira tanpa basa-basi.

Kristal terkesiap, lalu menatap Andara. Sedikit berharap wanita itu menyangkal semua pernyataan Indira yang kejam. Namun, Andara sama sekali tidak mengatakan apa-apa untuk membantah.

"Bohong!" Kristal berteriak kencang, lalu menatap Indira penuh kebencian. "Kau mengatakan hal mengerikan pada anak kecil!"

"Aku hanya mengatakan kebenaran. Tak peduli kau masih bocah kecil atau sudah tua renta."

"Tidak mungkin. Kau bohong!" tukas Kristal semakin murka.

"Aku yakin kau tidak suka dibohongi." Andara mencoba menengahi. Suara wanita itu terdengar sangat lembut dan nyaris membius Kristal dengan ketenangannya. "Aku yakin kau gadis yang jauh lebih pintar dan lebih tangguh dari yang kau coba tunjukkan pada kami."

Cahaya NegeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang