7. Dazai Osamu

268 14 3
                                    

Bau asin dari laut kembali menggugahnya untuk bernostalgia.

Sewaktu kecil ia pernah kemari, berdiri di atas pasir yang sama. Pasir coklat yang perlahan menghisap kakinya semakin dalam ketika ombak menyapa tubuhnya. Ketika saku-saku celananya dipenuhi butiran-butiran lembut. Dan tawa kecil lolos dari mulutnya yang tak sengaja mengecap rasa dari air laut.

Namun kini ombak yang sama tak lagi mengundangnya untuk bermain dengan mereka: pasir dan air.

Ia hanya diam tak bergerak, seperti pasak. Menatap gulungan ombak yang datang silih berganti dari balik cakrawala. Entah mengapa, deburnya menenangkan hati.

Dipandanginya satu per satu wajah dari orang-orang–yang kebanyakan dari mereka terlihat bahagia. Pria dan wanita. Anak kecil dan juga orang dewasa. Hal yang tak pernah dilakukannya dulu. Dulu ia sibuk berlari ke arah ombak yang datang, lalu membiarkan tubuhnya terseret air. Basah kuyup dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Di tengah hiruk pikuk itu ia menarik napas dalam-dalam kemudian melangkahkan kaki. Semilir angin menerjang helaian hitamnya tanpa ampun.

Andai saja laut bisa membawa seluruh lara yang ada pada dirinya maka setiap hari ia akan datang berkunjung. Walaupun hanya sekadar untuk diam mematung dan juga merenung.

Sungguh, tubuh yang tergeletak tak berdaya di bibir pantai hampir berhasil membuat jantungnya melompat. Ia tertegun pada wajah yang basah, begitu pula dengan pakaian yang dikenakan sang pria.

Ada perban yang melilit di sekujur tubuhnya, ia bergidik. Kalau itu luka pasti sakit sekali rasanya terguyur air asin. Tapi pria itu masih terbaring dengan wajah damai. Mungkin di balik perban itu bukanlah luka, bekas luka mungkin? Atau barangkali sesuatu yang tak diperkenankan pemiliknya untuk dilihat orang banyak.

Ia berjongkok, mengecek napas dan juga denyut nadi si pria asing. Kulit merekapun bersentuhan. Dingin. Tentu saja, melemparkan dirimu ke laut di pagi buta bukanlah ide yang bagus. Ia menghela napas lega, pria itu masih hidup.

"Dazai, Dazai Osamu."

Ia mengangguk pelan saat nama itu terucap untuk pertama kali. Pria itu mengeratkan mantel yang semula ia pinjamkan, rona mulai menghiasi bibir yang awalnya pucat.

"Dan kau?" tanyanya.

"(Y/n)"

Dan keheningan kembali merayap tatkala keduanya termangu seraya memandangi kaki langit, menunggu matahari memunculkan diri.

Sejenak ia meraba ponsel yang berada di saku celana. Jemarinya hampir menekan nomor dari kepolisian terdekat sebelum pria itu tiba-tiba bangkit tadi. Memohon padanya agar mengurungkan niat atas apa yang hendak ia lakukan.

Kunikida akan membunuhku nanti, begitu alasannya.

Ia tidak tahu apakah pernyataan itu mengarah pada tindakan yang sebenarnya atau hanya kiasan belaka. Yang jelas, ia tidak mau terlibat dalam hal bunuh-membunuh yang menyeret pria di sebelahnya.

Lekat ia memandang gurat-gurat keemasan di cakrawala sebelum akhirnya berkata,

"Bagaimana bisa kau terkapar di sana tadi?"

Sebenarnya ia enggan untuk menanyakan hal itu. Apapun jawabannya, pastilah bukan sesuatu yang baik.

"Aku..." Dazai menjeda. "Aku ingin tahu apakah air laut bisa membuatku sekarat atau tidak."

Nah, kan. Apa kubilang tadi.

Ia mengalihkan pandangan pada sang pria. Apa ia sedang mencoba untuk bercanda? Sungguh, sama sekali tak lucu.

Fantasia (Anime × Reader)Where stories live. Discover now