Chapter 7

13.9K 812 31
                                    

Nadlyne dan Rony seringkali menghabiskan waktu bersama ketika di rumah sakit. Saat tiba jadwal istirahat makan siang biasanya pasangan ini akan makan bersama meski hanya di kantin rumah sakit. Sama halnya siang hari ini. Bersama Rony ketika jam menunjukan pukul dua belas lebih tiga puluh menit mereka bertolak menuju kantin untuk mengisi perut. Nadlyne biasanya yang akan memesan untuk Rony, "Sayang kamu mau makan apa?" tanya Nadlyne, Rony duduk di kursi yang berhadapan dengan Nadlyne sambil menggulung lengan kemeja yang digunakannya.

"Seperti biasa aja Nad, gado-gado Bude Sri" jawab Rony. Sudah seperti rutinitas, sepiring gado-gado Bude Sri dan es jeruk yang selalu jadi pilihan Rony juga Nadlyne. Selain karena menu itu sehat rasa gado-gado itu jugalah enak.

Nadlyne mengangguk kemudian menarik langkah meninggalkan Rony untuk memesan menu makan siang mereka. Tidak lama kemudian perempuan itu kembali duduk berhadapan dengan kekasihnya. Rony membuka ponsel canggihnya, membuka aplikasi tukar pesan berwarna hijau. Ia membuka salah satu nomor ponsel yang baru saja ia simpan tadi pagi. Nomor ponsel itu kepunyaan Alliyah. Ia lupa memintanya secara langsung dengan Alliyah, alhasil Rony hubungi Abimanyu untuk memintanya.

'Laksita Alliyah' begitu Rony menamainya. Tidak menggunakan kata ganti yang romantis seperti, istriku, sayangku, cintaku atau yang semacamnya.

Rony mulai menekan huruf-huruf di keyboard, merangkai kata-kata kemudian ia kirimkan kepada Alliyah. Bukan kata-kata cinta melainkan formalitas belaka. Misalnya, 'Mau dijemput jam berapa Al?' yang kemudian Alliyah balas dengan sebuah tanda tanya.

Laksita Alliyah

mau dijemput jam berapa Al?

siapa?
oh sorry, Rony ya
nanti saya kabarin lagi ya Ron

Di lain tempat ponsel Alliyah menampilkan satu notifikasi chat baru dari nomor yang tidak tersimpan. Rupanya itu nomor Rony, suaminya. Lucu sekali memang pasangan suami istri itu, sangkin terpaksanya dengan pernikahan mereka, nomor ponsel saja tidak saling simpan.

Setelah membalas pesan singkat Rony, Alliyah kembali simpan ponselnya di atas meja dan melanjutkan obrolannya dengan teman-temannya.

"Gimana pernikahan lo sama kakak Daniswara Liy?. Siapa namanya ... Rony" tanya Novia.

Alliyah meneguk kopi susu yang dipesannya sebelum menjawab, ia tarik nafas panjang kemudian mendengus sebal. "Ya begitu. Gue pasrah Nov, apapun yang terjadi nantinya sama pernikahan gue dan Rony gue nggak peduli" jawab Alliyah.

"Loh kenapa gitu. Lo nyerah sebelum perang. Seharusnya lo usaha dulu Liy."

"Iya kak, lagi pula aku liat kak Rony baik deh, ganteng juga, masa kak Alliyah nggak ada rasa tertariknya" tambah Nabila.

"Ambil aja kalau lo mau Nab" cetus Alliyah. Nabila mendelik, "Nggak ih, gap umur sama aku aja sebelas tahun, udah om-om" balas Nabila.

"Om-om gitu Dokter Nab, kamu beneran nggak mau?" Alliyah kembali menggoda Alliyah.

"Eh serius kak Rony umurnya tiga dua, kok nggak kelihatan ya" tambah Anggia. Alliyah menaikan bahunya tanda tak tahu. "Iya Gi, beda usianya sama Alliyah aja delapan tahun. Lumayan sih. Eh ngomong-ngomong Liy, lo manggil Rony langsung pakai nama, nggak ada embel-embel apa gitu?" tanya Novia lagi.

"Yaiyalah, gue manggil Daniswara aja langsung nama." Novia mendengus sebal, Alliyah oh Alliyah. "Rony suami lo Liy, yakali langsung nama. Tambahin apa gitu ... Mas kek atau Abang, biar romantis gitu loh" saran Novia. Alliyah mengangguk saja, meski ya nanti ia pikirkan lagi lah. Memanggil Rony dengan embel-embel semacam itu, duh rasanya keluh sekali lidah ini.

Sandyakala [Proses Revisi]Where stories live. Discover now