3. A plan

46 43 34
                                    

"Very little is needed to make a happy life; it is all within yourself, in your way of thinking

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Very little is needed to make a happy life; it is all within yourself, in your way of thinking." - Marcus Aurelius

-

Sepulang dari bandara setelah mengantarkan Bu Dian, Nara tidak langsung kembali ke rumah melainkan mampir di sebuah coffee shop. Gadis dengan hoodie hitam dan celana jeans biru langit itu duduk di pojok Cafe dengan ditemani segelas Americano dingin, pandangannya menatap kosong ke arah gelas tersebut, hatinya kembali terasa hampa, kembali ditinggalkan oleh orang yang sudah ia anggap seperti Ibu sendiri, bukan suatu hal yang mudah.

Pandangan yang semula menatap gelas kini beralih pada layar ponsel, jempolnya bergerak menggulir layar ponsel dengan tak selera, sebenarnya Nara sengaja memainkan ponselnya hanya agar tidak terlihat menyedihkan. Saat netra yang semula menatap dengan tak selera itu seketika membulat, menatap sebuah foto unggahan di sebuah media sosial. Foto itu memperlihatkan sebuah tempat yang sukses membuat hati Nara menghangat, pikirannya mendadak berkelana, berandai-andai, andai saja dirinya berada ditempat tersebut.

Tempat dimana terletak sebuah kursi kecil di tepi danau terpencil. Benar, yang Nara butuhkan adalah tempat indah yang sepi untuk menjernihkan mata dan pikirannya. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja tanpa diperintah, keningnya sedikit berkerut, gadis itu mulai berpikir apakah ia harus pindah ke sebuah tempat yang bisa menjernihkan pikirannya? Apakah harus?

Sepuluh hari yang Nara lewati, setiap membuka pintu rumah hanya rasa hampa yang di dapatkannya, kenangan-kenangan bersama Ibu di rumah itu memang cukup sulit membuatnya kembali bangkit, mungkin dengan pindah dari rumah tersebut untuk sementara waktu akan membantunya bangkit kembali.

Setelah lebih dari satu jam berdiam di dalam Cafe tersebut, Nara memutuskan untuk bangkit dan segera pulang. Langkahnya membawa Nara keluar Cafe, retinanya menangkap sebuah mesin anjungan tunai mandiri tepat di seberang jalan di sana. Ah, gadis itu bahkan baru mengingat jika dirinya memiliki kartu debit peninggalan Ibu, selama ini kartu itu hanya tersimpan rapi di dalam dompetnya namun tidak pernah dipakai, bahkan Nara tidak tahu berapa saldo di dalamnya.

🦋🦋🦋

Melihat delapan angka nol di belakang angka satu, siapa yang tidak terkejut? Mata Nara terbuka lebar, rahangnya hampir jatuh saat mengetahui isi saldo kartu debit tersebut. Benarkah sebanyak ini? Apa dirinya tidak salah lihat? Nara yakin Ibu mengumpulkan uang sebanyak ini bukan dalam kurun waktu sebentar, itu artinya Ibu mengetahui mengenai penyakitnya sudah lama, tapi kenapa Ibu tidak menceritakannya. Pikirannya kembali berkecamuk, gadis itu memukul-mukul kepalanya yang mendadak terasa pening dengan pelan, setelahnya ia keluar dari dalam ATM dan melangkahkan kakinya tak tentu arah.

Netranya menatap lurus jalanan yang dilewati, hingga seketika menangkap sosok yang menarik perhatiannya. Di ujung jalan, tepat di depan sebuah toko retro, terdapat seorang pria paruh baya yang tengah duduk lesehan seraya mengibas-kibaskan tangannya karena gerah, peluhnya mengucur membasahi wajah, pria itu terlihat kepanasan. Dengan cepat, Nara membelokkan kakinya memasuki sebuah minimarket, ia segera mengambil dua botol minum lantas membayarnya ke kasir.

DesertedWhere stories live. Discover now