Satu - Kekecewaan Mendalam

1.4K 329 11
                                    

Maurin menghirup napas berat, mengembuskannya perlahan. Dia duduk di kursi rodanya, menatap pantulan bayangannya di cermin. Itu terlihat mengerikan.

Kondisinya membaik, tapi dia masih belum kembali ke kondisi terbaiknya. Masih jauh lebih buruk dibanding dengan Anggun yang hidup dan enerjik.

"Ah. Nggak ada gunanya aku membandingkan diri sama orang lain." Maurin menggigit bibir bawahnya.

Tidak akan ada yang memahami rasa sakitnya, kepedihannya.

Bagi Andrew, ini mungkin sudah 7 tahun berlalu. Tapi bagi Maurin yang baru beberapa saat sadar dari komanya, kenangan, keyakinan, dan perasaan yang ditinggalkan masih seperti beberapa hari yang lalu.

Hampir tidak berubah.

Tidak ada perbedaannya.

Usianya menua, tapi Maurin koma selama beberapa tahun. Dia tidak mengingat apa-apa selama komanya.

Dia terjaga, berharap disambut dengan riang dan bahagia. Tapi bukan hanya ditinggalkan, sosok yang menunggunya juga tidak lebih baik dari jelmaan iblis yang hanya ingin menenggelamkannya ke dasar neraka.

Maurin berpikir, akan lebih baik jika dia dibiarkan mati. Dia tidak mengerti kenapa Edward bersikeras untuk menjaganya tetap hidup selama ini. Bahkan Andrew menyerah padanya, namun Maurin mendengar dari beberapa orang ... kalau setiap bulannya, tidak peduli sesibuk apa pun Edward, dia pasti akan meluangkan waktu untuk melihatnya. Bertanya setiap hari tentang bagaimana situasinya?

Apa ini?

Menghindari lubang tapi terjerumus ke dalam jurang?

Edward benar-benar sulit dipahami. Sebelum kecelakaan, Maurin hanya pernah bertemu dengannya beberapa kali. Edward terlihat periang dan mudah diajak bicara. Tapi cara pria itu menatap Maurin selalu aneh, seolah sedang melihat lelucon saja.

Maurin terkekeh.

"Edward sudah tahu." Hanya itu yang Maurin pikirkan. Pria ini pasti sudah tahu, kalau cinta Andrew dan Maurin tidak akan pernah bersatu. Maurin akan menjadi pihak yang ditinggalkan, dia menjadi pihak yang paling dirugikan.

Maurin menghela napas berat. Dia menarik laci di kamar mandi, mengambil salep yang selalu dia letakkan di sana.

Edward adalah bajingan. Dia benar-benar menerapkan hukum kesetaraan, dia tidak peduli yang dipukul laki-laki atau perempuan. Ini bukan pertama kalinya Maurin terluka, jadi dia selalu menyimpan obatnya sendiri, setidaknya ... Edward masih akan mengakomodasi setiap kali Maurin jatuh sakit.

Lututnya memar, begitu juga dengan pergelangan kakinya. Maurin mungkin tidak merasakan apa-apa, kedua kaki ini lumpuh dan cacat. Tapi Maurin masih berharap di masa depan dia tetap bisa berjalan.

Bahkan jika semua orang menyerah padanya, dia tidak akan pernah menyerah pada dirinya sendiri.

Jika tidak ada yang mencintainya, Maurin hanya akan mencintai dirinya lebih banyak lagi.

Hanya dengan itu, Maurin bisa mendapatkan arti dari keberadaannya sendiri.

***

"Miss Maurin harus lebih berhati-hati, jangan mengalami cidera yang bisa memperlambat proses kesembuhan Anda." Dokter paruh baya itu menghela napas. Dia adalah dokter yang merawat Maurin selama ini.

Dia melihat lebam di pergelangan kaki Maurin, jelas itu cengkeraman seseorang.

Di bawah pengawasan Edward, siapa yang akan berani kurang ajar pada Maurin selain sang Tuan itu sendiri?

"Saya akan berhati-hati." Maurin tersenyum kecil. "Terima kasih."

Maurin tidak pernah mengatakan keluhannya pada siapa pun. Karena dia tahu tidak akan ada yang bicara untuknya, Maurin tidak mau membuang waktu untuk hal yang sia-sia. Seperti yang Edward katakan, Maurin diselamatkan olehnya. Hidup dan mati Maurin adalah miliknya. Jadi rasa sakitnya saat ini bukanlah apa-apa.

"Shilly akan jaga Tante Mawin." Shirly sedih melihat Maurin terluka. "Tante Mawin, biar Shilly yang gendong Tante Mawin."

Maurin tertawa kecil, mengusapi kepala Shirly dan berbisik, "Tante Maurin baik-baik aja. Shirly nggak perlu khawatir."

Bahkan walau Maurin sekarang kurus, dia masih bisa menekan Shirly sampai mati. Itu hanya bocah setinggi pahanya, apa yang bisa diperbuat?

Setelah mendapatkan beberapa obat, mereka pulang. Kembali ke vila yang untuk sementara ditinggali Edward dan orang-orangnya.

Situasi Edward sendiri sebenarnya saat ini tidak terlalu baik.

Singkatnya ... Edward adalah seorang buronan.

Dia benar-benar diburu keluarganya sendiri, jadi mereka harus lebih berhati-hati.

"Kita nggak bisa terlalu sering pergi ke rumah sakit, Maurin. Kamu harus lebih berhati-hati." Edward memberi nasihat, ekspresinya tampak kesulitan. "Jika kita ditemukan, apa yang akan kita lakukan? Bisakah kamu bertanggung jawab?"

Pria ini sangat tidak tahu diri.

Maurin hanya menatapnya sambil tersenyum. Senyumannya benar-benar tulus, sampai membuat Edward merasa tidak nyaman.

"Apa maksud dengan senyuman kamu itu?"

"Memangnya senyuman bisa memiliki maksud apa?"

"Saya merasa kamu sedang mengejek saya."

"Tolong jangan terlalu banyak berpikir, kamu ... layak?"

Sudut bibir Edward berkedut. Dia tertawa renyah, "Maurin, kamu sepertinya dalam suasana hati yang baik." Pelacur!

Edward tidak bisa mengumpat. Putrinya masih berada di pelukan Maurin sekarang. Tidak boleh berkata kotor, atau Shirly akan meminta Edward bertobat dan memohon ampunan Tuhan seperti yang sudah-sudah.

Maurin melihat pupil Edward menggelap, jelas pria ini sangat marah sekarang. Namun dia menjawab tidak peduli. Senyumnya semakin tulus saat menjawab, "Ya, berkat kamu."

Shirly melihat interaksi bolah-balik antara dua orang yang paling dia sayangi. Tidak bisa menahan seringaian bahagianya sambil berkata, "Papa sama Tante Mawin akrab."

Orang-orang Edward yang mengikuti mereka menatap Shirly. Mungkin, hanya Shirly saja yang berpikir kalau Edward dan Maurin memiliki hubungan yang akrab.

"Ya, Papa sayang sama Tante Maurin, dia nggak bisa jalan, kasihan." Edward berkata dengan nada yang baik. "Kalo bukan karena pertolongan Papa, Tante Maurin pasti sudah ngemis di jalanan."

Shirly sedih, "Shilly nggak mau Tante Mawin jadi pengemis."

"Papa juga nggak mau. Itu sebabnya kita harus memperlakukan Tante Maurin dengan baik, dia butuh belas kasihan kita."

Di permukaan, Edward mengasihani, namun semua orang yang mendengar kalimatnya bisa memaknainya dengan jelas.

Maurin tidak tersinggung, dia justru terkekeh, menatap Edward dengan sorot jenaka, tapi tidak mengatakan apa-apa.

Reaksi Maurin yang seperti ini benar-benar menjengkelkan. Edward merasa dicemooh dan ditelanjangi sampai ke tulang. Alisnya berkedut, dia balas melihat Maurin lurus.

Maurin benar-benar meminta hukuman.

Ada sosok pria jangkung yang saat ini mendorong kursi roda Maurin. Pria itu tampak lurus, tidak ada ekspresi di wajahnya. Namun kelopak matanya turun, dia memindai wajah Maurin dari atas.

Aiman merasa ... Maurin tidak pantas diperlakukan seperti ini. Maurin tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dia memiliki hati yang baik dan sikap yang lembut pada semua orang. Dia menghargai 'orang-orang seperti Aiman' yang bahkan tidak pernah dianggap tuannya sebagai manusia.

Mereka hanyanya perisai atau senjata humanoid yang dilahirkan untuk melindungi dan melakukan kepentingan Tuan mereka.

Aiman berpikir ... dia tidak akan pernah tergerak oleh seseorang.

Tapi melihat ketabahan Maurin, kesabarannya, kelembutannya, bahkan sikapnya yang selalu tenang saat dicemooh dan ditinggalkan semua orang, Aiman benar-benar ingin melindunginya.

Jika Tuan mereka tidak bisa menghargai Maurin, saat Edward bosan di masa depan ... bisakah Aiman meminta Maurin sebagai hadiah kesetiaannya selama ini?

Walau bagaimanapun ... Aiman adalah salah satu orang kepercayaan Edward yang bahkan ikut meninggalkan Alexandrio hanya untuk meyalaninya.

Dia ... layak bukan?

***

AlexandrioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang