1

637 61 9
                                    

Diana melangkahkan kakinya dengan ringan, tangannya menggeret koper berukuran sedang tanpa beban, suasana bandara siang ini cukup ramai, ah ... akhirnya ia kembali menginjakkan kaki di negeri kelahiran.

5 tahun mengembara di negeri orang benar-benar menjadi pengalaman berharga, hidup jauh dari keluarga nyatanya membuat kata rindu terasa menyiksa, beban berat menyandang gelar anak konglomerat membuat ia tidak bisa "main-main" dalam segala hal. Jalan hidup Diana sudah di tentukan, akan ke mana dan menjadi apa semuanya sudah terlihat jelas.

Tidak perlu mengkhawatirkan masa depan, masa depannya sudah di tangan sang papi, ah entahlah ... apa itu terdengar menakjubkan atau justru sebaliknya.

"Menjadi putri konglomerat itu tidak selamanya enak."

Yap, Diana tidak berbohong, nyatanya tidak ada kehidupan yang sempurna, semua hal memiliki celah, tinggal bagaimana kita menutup celah itu agar 'terlihat' sempurna.

Diana tersenyum riang manakala netranya melihat seorang pria tampan tengah melambaikan tangan, tentu saja lambaian tangan itu untuknya. Ia mempercepat langkahnya, tak sabar rasanya untuk mendekap pria tampan yang selama ini kerap ia ganggu dengan segala macam keinginannya, ah ... kakaknya itu semakin tampan saja.

"I miss you, Princess," ungkap Jayden sembari memeluk adik kesayangannya.

"Me too," balasnya mendekap sang kakak lebih erat.

Jayden mengacak rambut Diana gemas, walau usia adiknya sudah menginjak 23 tahun, nyatanya di mata Jayden dia tak lebih dari anak TK.

"Dasar anak nakal, kenapa lebih satu tahun hemm?" tanya Jayden sambil mencubit hidung Diana hingga memerah.

Diana tertawa, sungguh ia tahu maksud kakaknya, seharusnya ia sudah kembali ke tanah air sejak satu tahun yang lalu, tahun dimana ia juga menyelesaikan gelar megisternya.

"Oxford terlalu berat untuk di tinggalkan, Kak," alibinya dengan bersungguh-sungguh. "Ah seharusnya aku minta satu tahun lagi di sana," sambung Diana menjahili Jayden.

Jayden merapatkan tubuhnya pada Diana, matanya menatap lekat sang adik.

"Jangan macam-macam!"

Seketika Diana tertawa lepas, jangankan minta tinggal di sana satu tahun lagi, kepulangannya mundur satu hari saja keluarganya tak henti menelponnya, lupakan hidup tenang yang selalu menjadi visi hidupnya jika sampai hal itu terjadi.

"Eh malah ketawa lagi!" kesal Jayden menjiwir telinga adiknya.

"Aww sakit tahu!"

Perdebatan random mereka tak akan usai, tak ada yang mau mengalah, ada saja hal yang diributkan, padahal usia mereka terpaut 7 tahun.

"An, tentang ... ayah kandung kamu," Jayden melirik adiknya sekilas, sebenarnya topik ini cukup canggung untuk di bahas, tapi ia terlanjur penasaran.

Diana mengangguk pelan, ia mengerti arahnya ke mana.

"Kakak tidak perlu khawatir, aku sudah cukup dewasa untuk menyikapinya," balasnya tersenyum.

Memang tidak ada yang perlu dikhawatir kan, kan? Apa pun yang akan terjadi maka terjadilah, tugas kita adalah menerima dan menjalaninya, pada akhirnya semua akan baik-baik saja.

"Kakak hanya takut kehilangan kamu."

Diana melihat Jayden heran, kekhawatiran kakaknya terlalu jauh.

"Astaga Kak, aku gak akan ninggalin kalian. Trust me!" ucap Diana menggenggam tangan kiri Jayden.

"Tapi bagaimana pun juga kamu akan bertemu sama keluarga ayah kandung kamu."

"Kakak gak mau aku ke sana?"

I'am DianaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora