2. for the second time

En başından başla
                                    

Bu Dian yang selalu Mengingatkannya makan, membawa Nara ke restoran miliknya, mengajaknya ke tempat gym, menonton drama Korea bersama di rumahnya, bahkan setiap pukul tujuh pagi wanita paruh baya itu selalu mengajaknya keluar untuk jogging seraya menghirup udara segar di pagi hari, seperti yang dilakukannya pagi ini.

Knock, knock!

Pintu rumah Nara diketuk beberapa kali, sudah dipastikan itu adalah Bu Dian. Nara sudah siap dengan pakaian jogging-nya. Dengan rambut yang dikuncir kuda, Nara melangkah membuka pintu utama.

"Wih, udah siap aja anak cantik," ujar Bu Dian dengan senyum sumringahnya.

Nara membalas senyumnya tak kalah sumringah, gadis itu tak lupa mengunci pintu terlebih dahulu sebelum melanjutkan kegiatannya.

🦋🦋🦋

Dengan nafas tersengal-sengal, Nara dan Bu dian berhasil mengitari trek lari, keduanya kini tengah beristirahat di sebuah taman seraya mengatur nafas. Memperhatikan orang-orang yang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing, ada yang jogging seorang diri, ada juga yang berkelompok, ada yang bermain bola sepak, bola basket, yang datang hanya untuk sekedar kulineran juga ada, semua itu tertangkap indra penglihatan Nara.

"Kamu udah sarapan?"

Nara mengangguk dengan pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Bu Nara. "Sudah sarapan sereal."

Bu Dian mendengus, "Belum bisa dibilang sarapan kalau belum makan nasi. Ayo Ibu traktir nasi goreng."

Tawa Nara seketika lepas mendengar pernyataan Bu Nara, memang sudah menjadi ciri khas orang Indonesia, belum bisa dikatakan makan jika belum makan nasi.

Gadis itu menurut saja saat Bu Dian mengajaknya memasuki kedai nasi goreng, biasanya Nara akan memakan nasi goreng saat dirinya kehabisan ide untuk memasak, karena nasi goreng memang merupakan makanan fleksibel yang bisa dimakan kapan saja.

"Kamu mau nasi goreng apa?"

Nara tampak berpikir sejenak, "Sama aja kayak pesanan Ibu, tapi punyaku pedes ya."

Tanpa kembali mengeluarkan suara, Bu Dian membalasnya dengan acungan jempol.

Setelah selesai memesan, keduanya menghampiri meja kosong tak jauh dari sana.

"Lain kali kurangi makan pedesnya, masih pagi kok udah pesan yang pedes-pedes," Bu Dian memberikan peringatan untuk Nara, wanita itu terlihat agak risau, karena beberapa kali dirinya menemukan Nara sedang memakan makanan pedas, ia hanya khawatir akan terjadi apa-apa pada sistem pencernaannya.

"Nara udah makan pedes dari umur empat tahun kok, Bu. Jadi aman, Nara udah kebal," jawab Nara dengan nada gurauan.

Bu Dian mendelik, "Kamu ini."

Nara terkekeh pelan, dalam hatinya ia beribu-ribu kali mengucap syukur karena telah dipertemukan dengan seseorang seperti Bu Dian yang telah membantunya bangkit dari keterpurukan.

Keduanya fokus dengan makanan masing-masing kala makanan itu telah datang beberapa menit lalu, nasi goreng spesial dilengkapi dengan kerupuk udang menjadi teman makan Nara dan Bu Dian pagi ini. Es teh yang sebelumnya dipesan pun sudah datang, tanpa menunggu lama Bu Dian langsung menyeruput es tersebut karena tenggorokannya yang sudah terasa seret.

Setelah berhasil membasahi tenggorokannya, Bu Dian mengeluarkan suara, "Nara, sebenarnya ada yang mau Ibu omongin sama kamu."

Mendengar pernyataan Bu Dian, seketika kening Nara berkerut menampilkan raut wajah heran, "Ngomongin tentang apa, Bu?"

Sebelum kembali mengeluarkan suara, Wanita 45 tahun itu tampak menghela napas sejenak, "Kakeknya Syakilla lagi sakit di kampung."

Syakilla adalah anak semata wayang Bu Dian yang baru berumur 12 tahun, yang dibicarakan disini adalah 'Kakek dari Syakilla' yang berarti Ayah dari Bu Dian. Mendengar hal itu, tentu saja Nara ikut bersedih, gadis itu tahu betul bagaimana rasanya saat mendapat kabar bahwa orang tua sedang sakit, Bu Dian pasti sangat terpukul dengan kabar duka tersebut.

"Nara ikut sedih dengernya, Bu. Ada baiknya Ibu pulang ke kampung buat temenin Kakeknya Syakilla," usul Nara.

"Niat Ibu juga memang begitu, tapi Ibu gak tega ninggalin kamu disini," ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Bu Dian sukses membuat mata Nara berkaca-kaca, entah apa yang membuat gadis itu ingin menangis, rasanya ia hanya merasa terharu atas kebaikan dan ketulusan Bu Dian.

"Nara udah kepala dua loh, Bu. Udah jangan pikirin Nara, Nara bisa kok jaga diri," balasnya, walau disertai kekehan di akhir kalimat, tapi tetap saja Nara tidak bisa menahan air yang berdesakan ingin keluar dari kelopak mata.

"Jangan nangis dong, Ibu makin berat ninggalin kamu."

Nara menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Nara nangis bukan karena Nara gak mau ditinggalin Ibu, tapi Nara terharu sama kebaikan Ibu selama ini. Terimakasih, Bu Dian. Ibu udah bantu Nara bangkit dari keterpurukan sampe Nara bisa happy lagi kayak sekarang, terimakasih banyak" gadis itu berucap dengan nada tulus, meski tidak dapat dibohongi jauh dari lubuk hatinya ia tidak rela jika harus ditinggalkan sosok Ibu untuk yang kedua kalinya.

-

What do you think about this chapter?

Kalau ada typo or something yang kurang mengenakkan untuk dibaca, please lemme know guys :{

Jangan sungkan untuk mengkritik, aku terima kritikan kok, selagi itu membangun dan gak menjatuhkan >.<

I hope ada yang nungguin buat bab selanjutnya :')

See you in the next part guys, Lov  (⁠ʃ⁠ƪ⁠^⁠3⁠^⁠)

DesertedHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin