Tapi cuek saja sih. Yang penting hari ini aku sudah dapat dosis vitaminku. Senyum si Alvin yang memabukkan bak anggur merah. Seperti dalam lagunya Meggy Z.

***

Karena mobil harus masuk bengkel, jadilah aku mondar- mandir naik taksi daring. Soalnya kalau naik taksi konvensional, waktu mau masuk ke mobil susahnya juga bukan main.

Maka dari itu, ketika sorenya aku harus menemui Icha, salah satu klienku yang sibuknya ngalahin ibu negara, aku masih saja nongkrong di muka Stardust sambil nungguin Suzuki Ertiga yang bakalan jadi kendaraanku sore ini.

Bukan Ertiga abu- abu yang muncul seperti keterangan di aplikasi, eh malah Mazda hijau. Si empunya menurunkan kaca jendela di depan mukaku.  Aku mendecih.

Gayanya itu lho. Tengil banget.

"Mau ke mana?" serunya.

"Ke PIM."

"Mau gue anterin?"

"Ogah ah! Susah masuk mobil lo. Kemarin aja waktu turun gue hampir nyangkut di pintu!" Aku manyun.

Moodku seketika terjun bebas. Entah mengapa. Tapi rasanya mendadak aku tidak ingin pergi ke PIM menemui Icha yang notabene adalah seorang pemilik butik di kawasan Pondok Indah.

Belakangan, Icha mesti bolak- balik ke Hong Kong dan Korea. Padahal, pernikahannya dengan Aji, seorang dokter bedah jantung yang juga sama sibuknya itu tinggal dua bulan lagi. Aku harus pontang- panting mengejarnya. Mencocokkan jadwal. Dan kali ini aku harus  menemuinya karena memerlukan persetujuan untuk berapa hal.

Seperti Icha ingin menghadirkan band favoritnya sejak SMA, yaitu Sheila On 7, tapi sepertinya band yang digawangi oleh Duta, Eros dan lainnya itu sedang tidak dapat menyanggupi permintaan klienku itu.

Aku hendak menawarkan band yang sedang naik daun juga. The Staircases yang digawangi oleh Declan, Jiro, Carrick dan Rambat .

"Lha terus lo mau naik apa?" bertanya si Firman dengan raut muka iba. Yah, kalau Firman perhatian sama aku itu sih bukan barang baru. Semenjak masih ada Kiana, pria itu memang yang paling perhatian sama Kiana dan aku.

Sekarang setelah Kiana sudah pindah ke Bogor, otomatis perhatian Firman hanya tercurah padaku dan Disa. Jadi maaf- maaf saja kalau aku tidak menganggapnya istimewa.

Tepat saat itu, muncul Loli yang jadi freelance di Stardust. Tersenyum cerah ceria bagaikan matahari bulan Agustus jam delapan pagi. Mendekati Firman dengan matanya yang lebar dan berbinar- binar mirip peri itu.

Dalam hati aku mendengus.

Untung saja saat itu taksiku muncul. "Gaes, gue pergi duluan ya?" pamitku pada mereka yang lagi asyik ngobrol tentang mobil.

***

Icha rupanya sudah menungguku di toko roti Prancis bersama Aji. Ditemani kopi, cokelat panas, dan sepiring  chocolate croissant. Vibes toko roti yang terasa tenang, nyaman, dan hangat itu membuat perasaanku tidak lebih baik.

Soalnya melihat Aji yang tinggi, besar, berewokan, ganteng, dada bidang sedang memandang mesra pada calon istrinya, Marissa, atau yang biasa disapa dengan Icha, membuatku iri.

Icha adalah tipe perempuan yang bisa disukai siapa saja. Dia cantik. Dengan wajah mungil berbentuk hati, hidung kecil dan mancung, bibir tipis, mata bulat dan ekspresif. Meskipun saat melihat mereka aku membayangkan Emma Watson dan Dan Stevens dari Beauty And The Beast.

Soalnya tubuh Icha tuh mungil banget. Cuma 162 sentimeter. Ramping pula. Hmmm...

Pikiranku jadi melantur ke mana- mana nih.

"Mbak Fenita!" seru gadis berusia 28 tahun itu ceria. Sampai- sampai dia bangkit dari kursinya hanya untuk menyambutku, seolah- olah aku ini delegasi dari sebuah negara eksotis yang akan diajak kerjasama dengannya. "Aku kira enggak jadi datang, lho! " Saat aku sudah berdiri di meja mereka, Icha menyodorkan pipinya padaku. Sejenak aku membeku. Pipiku kan berminyak banget ini. Aku jadi insecure.

Tapi dia kadung menyodorkan pipi. Jadi aku hanya merangkulnya dan berharap bau badanku tidak mirip baceman kaus kaki.

Meskipun aku agak ogah- ogahan, tapi sepertinya Icha mau mengerti. Ekspresi di wajahnya sama sekali tidak berubah. Tetap ceria.

Sementara si calon suami hanya mengangguk sekilas ke arahku. Pria yang menguarkan aroma deterjen dari kemejanya itu sejak awal memang punya pembawaan yang serius.

Mungkin hanya dengan Icha dia bisa melonggarkan mur- mur di wajahnya itu. Sehingga Icha bisa mendapatkan berkah berupa senyum lebar penuh pemujaan.

"Jadi gimana? Kita beneran nggak bisa pakai Sheila On 7, ya?" tanyanya sedikit kecewa. "Padahal aku suka banget sama suaranya Duta lho."

"Jadwal beliau- beliau ini lagi padat," ujarku dengan raut penyesalan di wajah. Kalau melihat Icha ini, orang tidak akan mampu menolak keinginannya. Singkat kata, semua orang antre untuk jadi ibu peri baginya. Untuk memenuhi segala keinginannya.

"Tapi The Staircases ini juga bagus kok. " Aku segera menguarkan tablet dan membuka salah satu video konser TS, lalu menyerahkannya pada Icha.

Seperti yang kuduga sebelumnya, Icha berdecak senang ketika melihat wajah Declan yang menurut Fira jauh lebih ganteng dari Cha Eun Woo cinta sejatiku itu. Hmmm.

"Yang ini boleh juga, Mbak!" ujarnya ceria. Bagaiakan anak kecil menemukan mainan baru. Dia menoleh ke arah calon suaminya yang dengan seramnya sudah mengetatkan rahang.

Waduh.

Tanda- tanda bahaya nih.

***

Aku berdiri bengong di lobi Mal. Pertemuan dengan Icha sudah selesai. Berhasil meskipun penuh drama karena gadis itu perlu membujuk Aji supaya boleh mengundang TS.

Dan gadis itu membutuhkan waktu setengah jam  untuk supaya Aji bilang  ya.

Heran juga sih. Dengan ketampanan setara Chris Hemsworth begitu aku sih tidak akan merasa insecure. Dan kalau jadi Icha, aku pasti tidak menoleh lagi kalau punya yang se- hot itu di sampingku.

Saat sedang membuka aplikasi taksi daring, sebuah suara berat dan serak mirip punya Vino G Bastian sudah menyapaku.

Aku mengernyit. Ngapain si Kodok ada di sini?

"Pulang yuk!" ajaknya tiba- tiba. Mataku bersirobok dengan mata lebar nan hitam milik Firman. Yang saat itu sudah berdiri di hadapanku. Dengan celana jins yang bolong bagian dengkulnya, serta jaket denim biru langit yang seharusnya sudah beralih fungsi menjadi kain lap.

"Ogah ah. Kan gue tadi udah bilang kalau susah masuk mobil lo tuh. " Aku merengut. Mirip balita ngambek.

"Gue udah minjem mobil. Sekarang pasti lo bisa naik. Atau lo mau jalan- jalan dulu?"

Tiba- tiba seperti ada matahari yang menyinari hatiku. "Ke GI gimana?"

***

Fat And Fabulous Where stories live. Discover now