"Belum termasuk. Itu biasanya aku beli satu atau dua bulan sekali kalau memang kepingin." kata Alma.

"Biasanya ada budget untuk itu?"

"Nggak sih. Semahal apapun kalau aku sanggup dan suka, ya aku beli."

Bara mengangguk. "gaji aku lebih besar. Masih cukup juga untuk memenuhi kebutuhan kita berdua. Kalau nanti kita nikah, yang kerja aku aja, ya?" ujar Bara, "aku juga terbuka nantinya kalau kamu mau buat perjanjian pranikah." tambahnya.

Alma menoleh. Matanya mengerjap. Ia menatap Bara yang juga tengah menatapnya. "kamu minta aku berhenti kerja?"

Bara mengangguk.

"Kenapa aku harus berhenti kerja? Aku S2. Punya karir. Aku nggak mau di rumah aja." Alma sedikit menekan nada suaranya.

"Kalau aku bisa menuhin semua kebutuhan kamu, kenapa kamu harus kerja?" ujar Bara, "value kamu nggak akan berkurang meski kamu di rumah aja." tambahnya.

Alma menghela napas kasar, "Bar, aku kerja bukan untuk cari uang. Aku kerja biar tetap waras." jelas Alma, "kamu nggak mikir gimana kalau aku bosan di rumah? Aku bisa stres." tambahnya.

Bara diam. Berpikir. Ia melihat raut wajah Alma yang tampak tak akan mengalah kali ini. Ia yakin ini akan menjadi perdebatan panjang mereka untuk pertama kalinya.

"Kamu bisa cari kegiatan lain." ujar Bara. Ia tahu ia tidak menginginkan itu. Tapi itu satu-satunya solusi yang bisa Alma pertimbangkan.

"Kamu bisa ambil kursus apapun yang kamu mau. Masak, baking, belajar bahasa asing, atau apapun."

Alma tidak puas dengan itu. Ia bertanya lagi, "Bar, kenapa aku harus berhenti kerja?"

"Aku mau kamu fokus sama aku."

Jawaban macam apa itu. Pikir Alma.

"Aku nggak mau setiap hari kita sampai di rumah sama-sama dalam keadaan capek." kata Bara, "kamu sadar kan gimana load pekerjaan kamu."

"Nggak bisa, Bar. Aku nggak bisa." Alma tidak ingin membahas ini. Ia tahu apa yang ia inginkan. Ia ingin tetap berkarir setelah menikah. Ia terbiasa bekerja sejak dulu, dan tidak pernah membayangkan akan full di rumah setelah menikah.

"Aku udah kasih solusi. Aku juga nggak minta kamu menurunkan standar kemewahan kamu." kata Bara. Ia melihat tatapan Alma yang tak juga melunak. Mereka sama-sama bersikeras kali ini. "aku cuma ngeyakinin kalau aku sanggup penuhin semua kebutuhan kamu." tambahnya, "meski harus kerja setiap hari di tiga rumah sakit, atau jual aset untuk buka usaha demi menaikkan income. Aku bakal ngelakuin apapun."

"Bar, ini nggak cuma tentang uang." Alma mendesah, "kalau aku minta kamu berhenti naik gunung, gimana?" Ia ingin tahu bagaimana jika Bara dipaksa berhenti melakukan satu-satunya kegiatan kesukaannya.

"Nggak masalah." Bara ingin Alma tahu bahwa ia bersedia mengorbankan apapun demi keinginannya kali ini.

Alma mematung. Sama sekali tidak menyangka Bara akan menjawab semudah itu.

"Aku terbiasa punya uang sendiri." kata Alma.

"Uang aku kan uang kamu juga." jawab Bara, "kalau kamu takut kekurangan, kamu bisa pegang semua gaji aku. Aku cuma butuh segini setiap bulannya." Ia menunjuk satu nominal di kertasnya. "tapi pos-pos tabungan ini tolong diisi. Selebihnya bisa kamu simpan dan gunakan sesuka kamu." tambahnya, "semua aset yang dibeli selama pernikahan akan dibuat atas nama kamu. Mau buat perjanjian pisah harta juga nggak masalah."

Alma menelan ludah. Ia melihat Bara yang tampak serius. Laki-laki itu tidak main-main dengan ucapannya.

"Bar, kalau kayak gitu, kamu nggak akan punya apa-apa." Alma mengatakan itu supaya Bara sadar apa yang baru saja dikatakannya.

Deep Talk Before Married [TAMAT]Where stories live. Discover now