P r o l o g u e

133 14 15
                                    



"Gue bilang juga apa! Cowok jelek lo itu nggak bisa dipercaya!" ucap Devina dengan penuh amarah. Perempuan itu meletakkan kedua tangannya masing-masing di pinggang kemudian menatap Rainie yang sedang menangis sambil memeluk bantal.

"Gila! Apa populasi cowok ganteng di Amerika udah punah sampai cewek bule itu mau-mau aja di hamilin sama cowok jelek lo itu?!"

"Dia... dia bukan lagi cowok gue, Vin. Gue udah diputusin....." kata Rainie di tengah isakannya. Ia tidak menyangka bahwa diselingkuhi laki-laki jelek rasanya seribu kali lebih menyakitkan.

Mendengar itu membuat Devina membuka mata dan mulutnya lebar-lebar, membuat Rainie khawatir jika saja nyamuk masuk ke dalam sana.

"Apa?! Lo di putusin sama si cowok jelek itu?! Mana ponsel lo? Cepat hubungin dia dan bilang kalau gue mau bicara sama dia!" Devina terlihat mencari-cari ponsel Rainie. "Lo gimana sih? Harusnya lo yang mutusin dia! Enak aja si jelek itu mutusin lo! Hihhh nggak sudi!"

"Sabar, Vin..."

"Nggak ada sabar-sabar! Muka jelek gitu berani selingkuhin sahabat gue yang cantik bodi aduhay gini! Nggak bisa! Dia punya apa sih? Kaya juga nggak!"

Rainie bergerak mengelus lengan Devina mencoba meredahkan emosi sahabatnya itu. Ia agak sedikit bingung dengan situasi saat ini, bukannya harusnya ia yang harus di tenangkan? Kok malah terbalik?

"Nggak usah lah lo punya pikiran kalau cowok jelek, geek, pendiam macam Dimas itu bisa buat lo nggak perlu khawatir kalau dia selingkuh! Nggak ngaruh! Mending lo sama Ben aja tuh!" kata Devina nyinyir. "Dia kayaknya sampai sekarang belum punya pacar karena nungguin lo putus."

"Sembarangan lo kalau ngomong."

"Ih nggak percayaan sih! Emangnya Ben kurang apa sih? Udah ganteng, kaya, baik lagi! Kalau gue nggak sama sugar daddy gue, mungkin udah gue gebet si Ben tau!"

Rainie tidak lagi menjawab. Dengan air mata yang masih membasahi pipi, perempuan itu terdiam. Tujuh tahun yang lalu, Ben —yang merupakan seniornya di kampus —menyatakan cinta padanya. Untung saja, Ben bukan tipe lelaki pengecut yang memutuskan hubungan pertemanan karena ditolak. Maka dari itu, sampai detik ini mereka masih akur. Bahkan sekarang mereka bekerja di perusahaan dan divisi yang sama.

"Sekarang lo hapus air mata yang nggak berguna itu, dandan yang cantik dan ganti piyama kusam lo itu sekarang juga! Kita harus bersenang-senang malam ini!" ucap Devina tiba-tiba membuat Rainie sadar dari keterdiamannya. Devina menarik lengan Rainie agar beranjak dari tempat tidur dan segera mengikuti perintahnya.

"Gue tunggu sepuluh menit!" Teriak perempuan itu sebelum keluar dari kamar apartemen Rainie.

———

Dentuman musik dan cahaya laser memenuhi Ribson pada malam ini. Rainie yang duduk di kursi bar mencicipi minumannya sambil menatap Devina yang kini sedang asik bergerak di lantai dansa.

"Nggak turun?"

Suara berat yang berada tepat di kupingnya membuat Rainie tersentak kaget. Perempuan itu menoleh kemudian mendapati seorang lelaki tidak dikenal dengan postur tubuh tinggi dan berkulit putih. Bahkan disuasana Ribson malam ini yang redup dan penuh dengan cahaya laser, Rainie masih bisa menyadari ketampanan lelaki itu.

Rainie menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Why?"

"Lagi malas," balasnya sedikit teriak karena suara musik yang amat keras.

"Neandra." Laki-laki itu
mengulurkan tangannya kepada Rainie

Rainie membalas uluran tersebut. "Rainie. Panggil Rain juga bisa."

If We Were DestinedWhere stories live. Discover now