9

7.8K 1K 42
                                    

Vote dulu sebelum baca, kak 🧘🏽‍♀️

Perjalanan Lando dan Om Jordan diiringi dengan lagu lawas yang Lando gak pernah denger sama sekali. Perasaan Lando jadi sedikit gak tenang, suasana sekitarnya terasa horor gara-gara tu lagu. Ditambah lagi, Lando gak tau kemana Om Jordan ngebawa dia.

"Mas, Cio sama Mamanya kok gak diajak?" Lando akhirnya memilih buat buka suara memecah keheningan.

"Cio nginep di tempat Neneknya. Kalo Mamanya, udah meninggal."

"Eh?" Lando kaget, salah tanya banget, deh, dia. "Sorry, Mas. Kirain Mamanya masih ada. Sekali lagi, maaf ya, Mas."

Om Jordan beralih menatap Lando dan tersenyum. "Santai aja. Wajar, kok, nanya gitu. Kan kamu gak tau." Rambut Lando diusak dengan gemasnya.

Lando cuma ngangguk kecil lalu menunduk. Dia kira mereka bakal terus menyusuri jalan, tapi ternyata mereka singgah di sebuah hotel. Om Jordan keluar duluan dari mobil lalu membukakan pintu mobil buat Lando.

"Mari."

Sejenak Lando cuma natap uluran tangan dari Om Jordan. Dia ragu dan takut. Apalagi ini berurusan sama hotel, mencurigakan banget. Setelah berpikir cukup lama dan meyakinkan diri, akhirnya Lando menyambut uluran tangan Om Jordan sambil keluar dari mobil. Pintu mobil ditutup kembali serta dikunci lalu langkah keduanya serempak berjalan masuk ke dalam hotel. Om Jordan sempat bicara sama beberapa pegawai hotel terus abis itu Lando sama si Om memasuki lift menuju ke lantai 3A. Keluar dari lift, Lando ngehembusin nafas lega. Ternyata di sana ada sebuah cafe sekaligus bar. Tempat itu terbuka, jadi Om Jordan sama Lando yang duduk di pinggiran bisa menikmati city light view.

"Tempatnya bagus banget, Mas. Kirain di Kalimantan gak ada yang modelan begini." Lando sibuk menatap pemandangan kota di bawah sana. Dia tersenyum cerah. Ngeliat itu, mau gak mau sudut bibir Om Jordan ikut terangkat. Gak terlalu peduli sama pemandangan sekitar, Om Jordan lebih tertarik ngeliatin Lando. Di tempat itu mereka cuma makan-makan dan minum beberapa gelas beer.

Beralih dari sana, Wirga sama Nanjan sekarang lagi rebahan bersampingan di satu kasur yang sama. Sesekali asap rokok berhembus dari mulut Nanjan.

"Jan, soal orientasi seksual gua yang waktu itu lu tanyain, kayanya gua udah nemu jawaban."

Nanjan natap Wirga sejenak lalu kembali menatap langit-langit kamar. Dia mematikan rokoknya, pengen fokus dengerin Wirga. "Jadi apa, Wir?"

"Gua kayanya bukan bisex apalagi gay, deh, Jan. Gua ..." Wirga mendudukkan diri dan sengaja menatap Nanjan. Alis Nanjan terangkat menunggu-nunggu jawaban Wirga. "Gua Nanjan seksual!"

Hening, Nanjan cengo denger penuturan Wirga. Pemuda itu mengerjap. "Nanjan seksual?"

"Maksudnya gua cuma tertarik sama lu. Gua gak peduli, dah, mau lu cewe atau cowo, selama itu lu, gua bakal mencintai lu secara brutal!"

Muka Nanjan memerah, dia mengalihkan pandangan. Agak salting jadinya gara-gara Si Wirga. "Idih, udah main cinta-cinta aja."

"Beneran, loh, gua udah tertarik sama lu dari pertama kali liat." Wirga menyentuh sisi dadanya dramatis. "Bisa dibilang mungkin gua jatuh cinta dari pandangan pertama. Tiap liat lu bawaannya pengen memiliki."

"Alah, omongan cowo kadal!" Nanjan manyun terus berbalik badan membelakangi Wirga. Diam-diam pemuda itu mengulum senyum. Gak bisa boong, dia sekarang ngerasa berbunga-bunga.

"Asli, loh. Gua gak mungkin nemuin lu terus kalo gua gak ngerasa suka," ungkap Wirga jujur.

Cukup lama Nanjan terdiam sampai dia ikut mendudukkan diri. Dia sama Wirga berhadap-hadapan. Mereka saling tatap dengan serius. "Tapi, kalo aku masih gak yakin sama kamu, kamu bakal tetap kukuh suka sama aku?"

Jejaka Lokal {BxB}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang