Chapter 2

16.2K 857 17
                                    

Jemari mungil kedua keponakannya mengerat dalam gandengan Alliyah. Reyhan di sebelah kanan dan Kaisha di sebelah kiri. Reyhan tampak sangat semangat membawa Aunty tersayangnya menuju ruang tamu dan menunjukkan berapa banyak coklat yang dibawanya.

Begitu sampai di ruang tamu Alliyah langsung dihadiahi pandangan penuh penghiburan dari dua orang yang menjadi bagian penting dalam hidupnya. Abimanyu kakaknya serta Rani kakak iparnya yang sudah ingin menghadiahi Alliyah sebuah pelukan.

Rani yang pertama, tanpa aba-aba wanita itu melangkah mendekat pada Alliyah lalu memeluknya dengan sangat erat. Rani tahu Alliyah sangat rapuh. Meskipun ia baru mengenal Alliyah setelah menikah dengan Abimanyu tapi mereka sangat dekat. Rani sangat menyayangi Alliyah lebih dari rasa sayang seorang kakak ipar.

"Semuanya bakal baik-baik aja Dek, ikhlas ya, terima semua yang sudah Tuhan gariskan buat kamu. Kamu harus selalu ingat, Tuhan itu nggak pernah menguji kita kecuali Tuhan tahu kita mampu untuk ujian itu ..." nasihat Rani.

Alliyah mati-matian menahan air matanya. Keberadaan Reyhan dan Kaisha di sini membuat Alliyah lebih berhati-hati untuk menangis. Air matanya sudah habis sejak semalam dan Alliyah berjanji untuk berhenti menangis.

"Iya Mba, aku tahu. Tapi pundak aku nggak sekuat itu Mba ..." keluh Alliyah.

"Ada Mba dan Mas kamu di sini Dek. Ada Mama dan Papa, sekarang juga ada Rony untuk tempat kamu berbagi. Jangan sedih lagi ya, Daniswara juga bakal sedih kalau selalu liat kamu nangis hampir setiap malam" Alliyah hanya mampu mengangguk dengan lemah, matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis yang sebentar lagi akan tumpah.

Abimanyu yang mulanya hanya melihat dari jauh kini menghampiri, ia memeluk Alliyah tanpa aba-aba, membenamkan wajah adiknya di dadanya lalu mengusap punggung Alliyah penuh kelembutan.

"Mas tahu kamu kuat Dek, nangis dikit nggak papa tapi jangan sampai mata kamu bengkak gini ..." Abimanyu mencubit pipi Alliyah gemas.

Abimanyu tahu adiknya itu kini tengah rapuh, hatinya berantakan tak berbentuk, pikirannya berkelana tak menentu. Meski senyuman Alliyah sudah terbit di garis bibirnya namun, tak bisa terelakkan mata sembabnya menumpuk segala rasa sedih dan kehilangan yang sangat mendalam. Seumur hidup Abimanyu ia tahu betul bagaimana rasa sayang Alliyah kepada Daniswara. Namun, semuanya sirna karena takdir kuasa yang tak bisa diubah meski telah berusaha.

Alliyah itu lemah bila sudah mendengar Abimanyu berbicara, jadi sekuat yang ia bisa Alliyah alihkan air mata duka cita yang sebentar lagi akan memberontak terbebas dari mata. "Sakit ih ngapain cubit-cubit pipi aku" protes Alliyah tidak terima.

Abimanyu memandangnya sambil tersenyum. Meski usia Alliyah sudah menginjak angka dua puluh empat tahun, bagi Abimanyu Alliyah tetap adiknya yang kecil, menggemaskan dan suka merajuk. Abimanyu tahu protes Alliyah hanya bentuk alibi agar air matanya tak kembali menggenang. Abimanyu kembali memeluknya, saat itu jelas sekali di telinga, Alliyah sedikit terisak.

"Aunty nangis lagi?" tanya Kaisha yang berdiri di belakang Abimanyu, sudah pasti gadis manis itu melihat Aunty tersayangnya yang terisak kecil.

"Enggak adek, Aunty nggak nangis. Cuma kelilipan ..." elak Alliyah, Abimanyu gemas sekali dengan adiknya itu. Ia tarik Alliyah untuk dipeluk dan dengan jahil membiarkan Alliyah membenam di antara tangannya.

"Mas bau!" Alliyah memberontak, dijauhkan dirinya dari Abimanyu sambil menutup kedua lubang hidungnya. Candaan Alliyah mengundang gelak tawa dari semua yang berada di ruangannya. Raihan dan Kaisha sudah tertawa tak tertahan.

"Ayah belum mandi tahu Aunty, makanya adek nggak mau deket-deket." Alliyah mencubit pipi Kaisha gemas lalu membawa gadis mungil itu ke dalam gendongannya.

Sandyakala [Proses Revisi]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt