Wish You All the Grief

29 10 0
                                    

"Di hari ulangtahunmu, permintaanmu akhirnya dikabulkan. Semua orang yang kamu benci menghilang! Naasnya, kemarin kamu baru saja bilang bahwa kamu benci seluruh dunia."

***

"Buana Bumi itu membosankan."

"Seakan itu bisa jadi alasan saja," tepis Aurus, seorang pemuda yang di dada seragamnya tersemat lencana bintang bersegi delapan, lencana murid teladan. Andai dia tahu betapa suaranya tidak terdengar setegas yang dia harapkan, dan bahwa matanya yang menghindar dari tatapan gadis di hadapannya tampak sekentara yang dia takutkan. "Kau tidak bisa bolos hanya karena argumen emosionalmu sedang memenangkan debat dalam kepalamu, Farin."

"Argumen emosional?" ulang Farin, keberatan dan menantang. "Aku punya segudang fakta di dalam kepala ini. Siap mendengarkan?"

Aurus mendebas, tetapi masih berhasil menahan diri untuk tidak mengacak-acak frustrasi rambut emasnya yang telah susah-payah ditatanya di cermin kamar mandi sesaat lalu. Tentu bukan karena apa-apa—bukan karena dia hendak bertemu siapa-siapa; pemuda itu hanya menyukai kerapian. Bahkan ketika tujuannya adalah perpustakaan di pojokan buku-buku kuno yang tidak diminati murid mana pun sebagai tempat membolos, kecuali—

Benak berisik sialan, kumohon diamlah.

Satu deham, si pemuda teladan berucap, "Ayolah, Farin. Kembali ke kelas bersamaku, sebelum Master Rasenja selesai dengan urusan kura-kura peliharaan—"

Farin menjentikkan jari. Aurus yang sibuk terheran-heran, menjadi sasaran mudah untuk seuntai benang merah yang muncul berpendar dari telunjuk Farin—untuk mengait sebelah pergelangan tangan Aurus dalam belitan selembut kapas.

Seketika Farin menyentak telunjuk, benang itu menarik Aurus mendekat ke arahnya.

"Ini adalah fakta pertama," kata Farin dengan seringai kemenangan tipis bermain-main di bibir pucatnya. "Sihir yang diajarkan Master Rasenja hanya berputar-putar tentang mengendalikan seuntai benang."

Aurus praktis mematung beberapa detik, bercermin pada pantulan dirinya di mata limau Farin-pantulan dirinya yang penuh warna emas; rambut, iris mata, lencana, keliman jubah-dan ketika tersadar untuk berusaha menarik dirinya pun tidak berguna. Melirik benang merah yang mengikat pergelangan tangannya, Aurus berbinar. "Kau sudah menguasai materi terakhirnya! Kenapa saat uji praktik tempo hari kau tidak menjerat Master Rasenja seperti ini?"

Farin menyipitkan mata, tahu itu bukan binar palsu yang dimaksudkan untuk mencemooh-tetapi enggan memercayai bahwa binar itu semurni warna emas mata Aurus.

Gadis itu menyentak telunjuknya sekali lagi, mengurai benang merah menjadi ketiadaan yang beterbangan di udara pengap aroma kertas lama. "Karena Master Rasenja tidak peduli jika aku menguasainya satu hari lebih lama dari tenggat waktunya yang sesempit cakrawala."

Momen setelahnya adalah kecanggungan yang beku. Aurus menyumpahi dirinya sendiri di pojok benak. "Aku ... aku mengerti maksudmu, tetapi Farin, cakrawala itu luas bukan main."

"Justru itu."

Farin menyeringai lagi, setipis sebelumnya, tetapi kini yang tersirat dari gurat itu adalah kekalahan. Mata limaunya redup. Jemarinya yang tadi menguntai sihir kini terkulai mati. "Semua manusia di Buana Bumi berpikir bahwa cakrawala itu luas. Lantas kita dilarang menggapainya. Kita tidak boleh mengagumi maupun membencinya. Tidak boleh mencari apa yang ada di baliknya. Membosankan."

Bahu Aurus menegang. Seketika mengerti cakrawala apa yang sedang dibicarakan Farin.

"Fakta kedua." Farin ternyata membanting pembicaraan yang sudah dinanti waspada oleh Aurus. Gadis itu merentangkan tangan kanan di atas meja, membuat punggung tangannya terpampang-lebih tepatnya, sekeping permata belah ketupat yang tertanam di sana. Warnanya zamrud. "Kita semua punya permata konyol yang ditanam di punggung tangan kanan sejak ulang tahun pertama."

Wish You All the GriefDove le storie prendono vita. Scoprilo ora