63

528 84 12
                                    

Sedikit-sedikit Dita mengintip, langsung menunduk tatkala ketahuan dilirik Taeyong. Seakan malu gadis itu menutupnya dengan gengsi. Hanya demi mengamati pemuda itu hilir mudik mengambil banyak barang demi dirinya.

Taeyong rela mengambilkan baskom bersisi air hangat. Jongkok di depan Dita yang duduk di sofa hanya untuk melepas sepatunya, lantas mencuci kedua kakinya yang kedinginan. Sesekali pijatan lembut menelusuri seluruh permukaan kulit.

"Jangan katakan kau repot melakukan ini karena rasa bersalah."

Taeyong terkekeh mendengar tuduhan serius yang terbilang prasangka buruk. "Bukan itu. Aku melakukannya karena aku menyayangimu."

Hangat bukan tentang pipi saja, melainkan menjalar sampai ke ulu hati. Uh! Rasanya nggak adil saja melihat situasi barusan. Seharusnya Dita tidak membuat keadaan lebih mudah untuk Taeyong. Pemuda itu harusnya mendapatkan pembalasan yang setimpal. Misal pertengkaran, adu argumen atau paling nggak Dita menamparnya dulu dan membuatnya menangis darah penuh penyesalan baru Dita maafkan. Bukan malah menyapa dengan ramah, seakan rindu pada kekasih yang sudah lama nggak jumpa. Sungguh hasil yang tidak memuaskan.

Katakanlah Dita bodoh.

Namun mau bagaimana lagi, Dita sudah amat kelelahan. Ia sudah akting di atas panggung dengan seluruh penghayatannya yang menguras banyak emosi. Kalau mau ngedrama lagi, Dita gak sanggup.

Lagipula sejak kapan pemuda ini jago mengeluarkan kata manis, kalau selama yang Dita kenali dari pemuda ini hanyalah sarkasme belaka.

Memang, sih tiga tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu, bisa saja mengubah karakter Taeyong. Bahkan penampilannya saja bikin Dita speechless. Rambut pirang dan piercing. Demi Tuhan, Dita nggak seratus persen percaya Taeyong berubah ke arah lebih baik, kalau penampilannya saja malah mirip preman.

Dita menarik napas panjang, mengatur pikirannya agar tetap tenang. Informasi dari pengamatannya sekilas terhadap Taeyong belum sepenuhnya menyeluruh. Masih banyak informasi yang harus ia kumpulkan guna mencapai konklusi dan kesepakatan final yang bakal menentukan Taeyong sudah 'baik' atau malah tambah 'buruk'.

Untuk mencapai itu, Dita perlu banyak waktu dan obrolan panjang. Masalahnya apa ia masih sanggup bertahan sampai pagi bila ia sangat butuh istirahat sekarang?

Selama proses tukar pikiran di dalam otak Dita sendiri, Taeyong sudah selesai mencuci kaki Dita dengan air hangat. Kemudian, membasuhnya dengan handuk, memakaikannya kaos kaki, lantas sandal rumahan milik Jinny.

Ia juga menyelimuti Dita, membuatkannya teh panas, membawakannya sup kacang hijau, sandwich, buah, bahkan Taeyong sendiri yang mengupas kulit buah apelnya.

"Seharusnya aku marah. Seharusnya aku benci padamu, kenapa baru sekarang kau datang. Ha!" Dita menghela napas berat, "Seharusnya aku menamparmu barusan."

Taeyong terkekeh saja. Dita tetaplah Dita yang naif dan selalu mengungkapkan isi kepalanya tanpa ragu. Di balik fisik yang semakin matang, sifat gadis itu masih tetaplah sama seperti gadis semasa SMA.

"Kau bisa menamparku nanti setelah aku menjelaskan semuanya." Taeyong menyerahkan potongan apel dan diterima Dita tanpa sungkan dalam kunyahan lambat.

"Jimin datang ke Seoul menemui Seulgi beberapa bulan pasca kami pindah. Aku menghajarnya di depan banyak orang di rumah sakit. Sayang sekali aku tidak menghajarnya sampai sekarat. Ia terusan meminta maaf dan bersedia bertanggung jawab atas janin yang dikandung Seulgi karena dia memang ayahnya."

Dita menahan napas. Gadis itu berkedip untuk merasakan detak jantungnya memukul keras. Tidak sakit. Tapi seperti—kau tahu ketika kau menemukan kebenaran dan kebenaran itu sesuai dengan yang kau harapkan—seperti itulah yang Dita rasakan. Gadis itu menekur dengan tekun tanpa menyela sedikitpun.

Tetangga Menyebalkan 🔚Onde as histórias ganham vida. Descobre agora