Moonflowers Reblooming

179 14 0
                                    

And sometimes, once in a goddamned blue moon, someone will come. Just like these moonflowers, someone might worth the effort.

***

Commissioned by imseunmin (twt), inspired by Dani and Jamie on Horror Series: The Haunting of Bly Manor (2020)

***

i. Marigold's Arrival

Manusia suka membuat ikatan, tapi tidak pernah punya kuasa utuh untuk mempertahankan. Sebab itu aku memilih tanaman.

Setelah aku dan tunanganku hidup bahagia di Seoul, yah, aku kemudian diberitahu bahwa kebahagiaan tidak akan bertahan selama itu. Pernikahan sudah di depan mata, tapi yang satu malah pergi duluan.

Aku ditinggal mati oleh tunanganku.

Jadi, di sinilah aku sekarang. Hidup bersama tanaman-tanaman cantik yang cara menumbuhkannya kami pelajari bersama. Susah, ya? Jatuh cinta sama teman sendiri. Apa-apa pernah dilakukan bersama. Setelah berpisah, ada saja yang buat kita susah melupakan.

"Good morning, Mary," sapaku pada satu Marigold dekat jendela, yang beberapa detik kemudian bergoyang lembut karena ada angin berhembus dari arah pintu kaca.

Kling

Beserta bunyi lonceng yang aku pasang untuk menandakan masuknya pelanggan.

"Selamat datang."

Seorang laki-laki yang terlihat berantakan, menoleh ke arahku baru kemudian memilih tempat duduk di di tengah-tengah ruangan.

Mungkin ada masalah berat menimpa hidupnya, pikirku.

Aku berikan buku menu untuk dia baca sebelum dia memilih mau sarapan apa. Aku sendiri melanjutkan berbincang dengan anak-anakku, karena memang ini masih pagi.

"Aku mau pesan Americano empat shot."

Dan aku mulai mengkhawatirkan pelangganku. Seharusnya aku tidak boleh berkomentar, tapi, Pak, itu kantung matamu sudah segelap langit malam.

"Makanannya?" tanyaku.

"Roti bakar cokelat."

Oke, setidaknya dia tidak lupa mengonsumsi makanan manis.

Dia memberikan tip 30% dari harga makanannya, yang benar-benar aku syukuri. Kemudian ternyata, malamnya dia datang lagi.

Besoknya juga, dan besoknya lagi.

Di malam keempat kunjungannya, kedaiku sudah hampir tutup. Pelanggan sisa dia seorang. Di tengah-tengah meja, dengan lampu kekuningan yang terang, laki-laki itu menangis.

Menangis sejadi-jadinya. Untung sudah aku sediakan kotak tisu di sana.

Aku memerhatikannya sambil mengelap gelas dan piring di balik counter. Jujur, aku takut tiba-tiba dia pecahkan salah satu gelas kakiku kemudian menggorok—

mari kita tidak pikirkan hal seperti itu, Lee Minho.

"Mas!"

Mas?

Mas?

"Iya?" sahutku. Aku melihatnya dari tempatku sekarang. Mata sembab, hidung merah, dan rambut yang seperti habis diterpa angin topan.

"Kira-kira bakal ganggu nggak, ya, kalau saya nginep di sini malam ini?"

Aku memiringkan kepalaku. Eh?

"Ah, kalau ganggu juga nggak—"

"Enggak kok. Nggak ganggu. Boleh," kataku. "Ini sudah malam dan jalanan sekitar sini lebih sepi memang. Ada kamar kosong juga kalau mau pakai."

Handwritten Warmth / 2minWhere stories live. Discover now