01 ; Een Gedroomd Evenement.

Start from the beginning
                                    

Seven membayangkan. Ia membayangkan Samuel adalah dirinya, dirinya di masa depan. Seven nyaris gila oleh imajinasinya sendiri yang tanpa sadar Seven kini tertawa getir sebab sibuk tenggelam dalam pikiran alih-alih menonton pidato Samuel. Sungguh, impian Seven ada di depan matanya sekarang maka tak salah ia berhalusinasi. Menjadi pemilik galeri seni sekaligus pelukis terkenal. Seven merapalkan doa sepanjang Samuel berpidato. Tularkan kesuksesan Pak Samuel padaku, ya Tuhan, aku ingin Ibu bangga. Begitu katanya.

Kepala Seven tertoleh ke arah perempuan yang baru saja mengisi meja kosong hasil hipotesis asal Seven; pembatas dari keluarga sedarah Samuel. Konyol sekali.

"Dunia yang sempit atau Bandung yang sempit deh, Ra?" Seven berujar. Perempuan itu tersentak kaget.

"Astaga, kirain Kak Abim. Seven, ya?" Binar mata Aura menangkap eksistensi Seven juga duduk di sebelahnya.

Terus terang, Aura pangling dengan penampilan Seven dibaluti setelan jas motif kotak-kotak abu terang serta tampangnya yang begitu rupawan membawa kesan kharismatik. Bila diperhatikan lebih teliti Seven memiliki rupa yang unik, mungkin karena Aura jarang melihat pria tampan di daerahnya.

Menyelisik sudut demi sudut wajah Seven mengingatkan Aura kepada sosok Ayah. Seven sekilas; 80% memiliki visual yang lumayan mirip Ayah Aura. Pantas saja Aura rasa tak asing melihat paras Seven.

"Kamu kerabat Samuel?"

Lamunan Aura buyar, perempuan itu mengangguk. "Aku keponakan Om El, eh maksudku Om Samuel."

"Oh begitu.. "

Aura melirik nama yang tertera di meja, Sebastian Van Eindhoven. Baik, Aura akui bahwa Seven tidak menipunya tempo hari mengenai identitas Vanhov. "Lucu, ya. Aku malah ngira kamu bohong waktu itu."

Butuh beberapa detik untuk Seven menyadari maksud tutur kata Aura. Kemudian ia tertawa. "Masih belum percaya nih?"

Aura terkekeh. "Percaya setelah Om Samuel bilang kemarin bakal ngundang maestro lukis asal Belanda namanya Van Eindhoven, ternyata sosok maestro itu ada di depan aku."

"Saya lupa bilang terimakasih pas kamu puji lukisan saya," Seven tersenyum tipis. "Makasih ya, Aura. Saya apresiasi penuh pujian itu."

Aura terenyuh. Ia nyaris salah tingkah saat Seven menatapinya begitu lekat. "Oh iya, gimana? Kok bisa kenal Om Samuel?"

Seven melirik Samuel yang masih berpidato di podium. "Udah lama. Pas acara pameran tunggal pertama saya." Aura memanggut-manggut.

"Funfact aja sih, De'I Gallery itu sebetulnya milik Ayah aku lho." Aura memasang mimik bangga. Seven tergemap. "Milik Ayahmu?"

"Iya. Semuanya milik Ayah, tapi yang pegang Om Samuel. Ayah juga jago ngelukis, hebat banget! Tapi sayangnya Ayah gak mau tunjukin kehebatannya ke publik."

Seven mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Sesuatu alasan," Aura mengedikkan bahu. "Aku juga gak tau pasti alasannya."

Seven mendadak teringat pada sosok Ayahnya. Ayah Seven pula seorang pelukis kala ia masih bayi. Seketika bayangan wajah sang Ayah melintasi pikiran Seven tanpa permisi. Benci. Seven amat membenci Ayahnya.

AN ART GALLERY Where stories live. Discover now