Prolog

8 2 0
                                        

Aku adalah seorang perempuan yang berusia 17 tahun. Namaku Annisa Maghfirah yang paling cantik, lucu, dan pintar. Semenjak aku melihat foto buken pondok pesantrenku, aku merasa rindu dengan pengalaman-pengalaman berkesan selama di pondok yang saat itu aku masih berusia 14 tahun. Mengingat setahun lalu sebelum aku menerima ijazah SMP, aku mengenakan jas wisuda hitam dengan hijab emas yang begitu anggun dilihat. Saat itu, aku dan teman-teman pesantren ku akan melaksanakan perayaan kelulusan dengan adanya acara wisuda. Aku merasa sedih mengingat kenangan itu. Apalagi sebelum aku wisuda. Berbagai kenangan di pondok pesantren seakan menambah kerinduan dan penyesalan di hati. Mengapa? Karena keadaan ku yang sekarang lebih memprihatinkan. Aku sangat ingin meminta maaf pada diri sendiri atas apa yang telah aku lakukan sesudah lulus dari pondok itu. Rasa berontak, timbul padaku secara tiba-tiba. Saat itu, aku membalaskan dendam terhadap kesengsaraan yang kurasakan di pondok, dengan melakukan segala maksiat yang membuatku lalai akan kewajiban spiritual ku. Membaca Qur'an, Shalat Sunnah, Hapalan Qur'an, berzikir, mempelajari ilmu agama, dan lain-lain mulai jarang aku lakukan. Hingga aku tersadar, puluhan juz yang sudah aku hafal hampir menguap dari memoriku. Oh, maafkan hamba ini ya Allah. Setelah ini, apa yang harus hamba lakukan dalam menanggung kerugian?

"Sayang, jangan menangis. Ada apa denganmu, Nak?" Kata ibuku sambil mengelus kepalaku.

"Ibu, mmh. Ngapunten ya bu."

"Kenapa?"

"Aku sudah melakukan kegagalan. Dulu, aku sudah berjanji akan menjadi sempurna sesudah kepulangan bapak. Nyatanya, aku masih dikuasai rasa berontak yang ada dalam diriku."

"Sudahlah, Nak. Jadikan ini pelajaran. Kau hanya bisa membayar itu semua dengan adanya pengulangan perjuangan atas apa yang telah kamu capai saat kamu masih di pondok."

"Terlalu lama, bu. Apakah ada cara cepat?"

"Tidak ada. Tahan seluruh ketidaksabaranmu itu. Sabarlah dalam menjalani proses. Kalau bisa nikmati prosesnya."

Usai mendengar nasihat ibu, sebenarnya aku tidak tahu mulai dari mana yang harus aku ulang. Mengulang hapalan? Ah, lama. Jangankan mulai dari tiap juz awal. Mengulang seayat saja aku sudah pusing. Mengulang materi pelajaran diniyah? Duh, bukunya sudah disumbangkan. Beberapa jam aku berpikir, akhirnya aku memiliki ide untuk menghapus rasa penyesalan dan kerinduanku di ponpes. Menulis Diary book. Selama proses menulis Diary book, tiba-tiba aku teringat dengan Ahmad.

Dialah Ahmad Haqqul Fadhil. Cowok paling mencolok yang pemberani. Ia menyukai hal-hal yang berbau tantangan dan tanggung jawab. Ia adalah seseorang yang membuatku terkesan dengan sikap kepolosan nya. Dimulai dari tendangan bola sepaknya, berakhir dengan takziran yang juga menodai nama baik ku di pesantren. Tapi, aku tidak mengerti, mengapa dia malah mau menanggung segala takziran yang kutanggung? 

Ma'had Adventure with FailureNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ