"Anytime lo butuh gue" jawab Kai sambil mengerling pada Aurora yang dibalas tawa oleh gadis itu.

Aurora tersenyum, menatap langit yang mulai mendung. "Kayaknya bentar lagi hujan" ujarnya yang diangguki oleh Kai.

"Mau balik sekarang?"

"Gue naik grab aja, lo balik. Nanti kehujanan" ujar Aurora sambil meraih ponselnya. Saat ponsel itu menyala, puluhan notifikasi muncul dari orang yang sama. Allaric.

"Gue anter, udah malem" Kai membantah dengan tegas.

Aurora menggeleng, menunjukkan ponselnya yang menampilkan panggilan dari Allaric. Ia tersenyum tipis pada Kai, "Thanks, Kai buat semuanya. Tapi kayaknya gue harus balik sama Allaric, ada hubungan keluarga yang harus di jaga"

Kai menatap Aurora rumit, kemudian mengangguk pasrah. Kai menyodorkan ponselnya kearah Aurora, "Kalau lo butuh temen galau" candanya.

Ssnyuman manis terbit di bibir Aurora, "Gue save ya"

"Gue tunggu sampai Allaric dateng, tapi dari jauh kok. Tenang"

"Thank you, Kai"

Kai pergi meninggalkan Aurora di bangku taman sendirian, dapat Kai lihat bahu Aurora yang melemas dan tak lama kepala Aurora menunduk. Kai mengacak rambutnya kesal, perasaan aneh mulai menyelimutinya. Perasaan yang bahkan entah apa Kai tak mengerti, rasa cemas, marah, bahkan sedih larut menjadi satu dalam hatinya. Namun Kai dengan sadar tahu bahwa semua perasaan itu ada karena Aurora, gadis manis yang malam ini baru ia kenal.

'Jangan buat gue egois untuk bisa milikin lo, Ra' batin Kai sambil memperhatikan Aurora dari kejauhan

■■■■

Aurora tersenyum tipis membaca chat dari Allaric, apakah akan selalu seperti ini? Apakah hatinya akan semudah ini lagi-lagi memaafkan perbuatan Allaric padanya?

Allaric
Tunggu di sana
Gue otw
Maaf

Aurora sejujurnya tidak ingin bertemu dengan Allaric, sangat tidak ingin. Namun hubungan keduanya bukan hanya milik Allaric maupun Aurora, hubungan ini adalah hubungan yang akan berpengaruh pada Maximillan dan Haidar. Marga keluarga yang selamanya akan mengikat Aurora dengan Allaric.

Aurora tersentak saat tiba-tiba saja seseorang memeluknya erat, Aurora tidak perlu bertanya siapa orangnya karena parfum khas itu hanya milik satu orang. Allaric, tunangannya.

"Maaf" bisikan itu terdengar parau dari Allaric.

Aurora hanya diam, menghela napas kemudian melepaskan pelukan Allaric. "Gue mau pulang"

"I'm so sorry" Allaric menatap manik Aurora lekat.

Aurora memalingkan wajahnya, melihat wajah Allaric seolah mengingatkan semua rasa sakit itu. Aurora ingin egois kali ini saja, ia ingin berhenti sekarang.

"Batalin pertunangan ini" suara dingin Aurora menyentak Allaric

"No, nggak akan pernah"

Aurora tertawa sinis, "Apa yang lo harapin dari hubungan yang udah rusak kayak gini, Ar? Lo mau bertahan? Silahkan. Tapi maaf, gue mundur"

Allaric menggenggam tangan Aurora, maniknya berkilat tajam namun juga redup di saat bersamaan. "Kenapa lo nggak pernah percaya sama gue, Ra?"

"Karena lo nggak pernah buat gue percaya" jawaban Aurora menusuk Allaric tepat sasaran

"—harusnya lo buat gue percaya, tapi malem ini lo berhasil buat gue benci sama lo. Dengerin gue, Ar. Gue mau di dengerin. Sekali aja, apa pernah lo kenal gue? Gue bukan lagi Caly yang dulu lo kenal, kita udah dewasa dan banyak sifat kita yang beda. Sekarang gue tanya, apa yang lo tau dari gue?"

Allaric hanya diam membeku. Aurora yang menyadari kebisuan Allaric pun terkekeh sinis, air mata mulai menggenang dari pelupuk matanya. Perlahan, Aurora mencoba melepaskan genggaman tangan Allaric pada tangannya namun Aurora tersentak ketika Allaric justru semakin mengeratkan genggamannya.

"Lo suka hujan, tapi bisa sakit karena hujan" Allaric menatap manik hazel Aurora yang terpaku menatapnya.

Perlahan hujan mulai mengguyur keduanya, tangis Aurora luruh. Maniknya menatap Allaric lekat.

"—lo alergi kacang, kita sama. Lo suka gelap, tapi nggak suka sendirian. Lo suka warna pink dan strawberry lebih dari apapun. Lo suka boneka Lotso"

Allaric menatap Aurora, perlahan tangan kanannya menangkup pipi Aurora yang terasa dingin. "Lo suka pelukan ketika lo nangis" bisiknya pelan.

Tangis Aurora pecah dan dengan segera Allaric menariknya dalam dekapan hangat. Hujan seolah tertawa melihat lagi-lagi Aurora lemah terhadap Allaric. Tangan Aurora perlahan melingkar di pinggang Allaric, sebuah kecupan mendarat manis di pucuk kepala Aurora.

"Gue lalai satu hal, gue harusnya inget kalau lo nggak suka balapan" bisik Allaric penuh sesal

"Sejak kapan lo tau semua tentang gue?"

"Gue selalu tau lo, Ra. Tapi lo nggak pernah sekalipun percaya gue—"

Allaric menyatukan keningnya pada kening Aurora, jarak keduanya menipis bahkan kini hidung Allaric maupun Aurora saling bersentuhan. "—please, egois untuk terus milikin gue, Ra"

Allaric berbisik lirih, "Gue sayang sama lo, sakit rasanya lo pergi gitu aja dari gue. Jangan pergi, gue mohon"

Aurora terpaku.

■■■■

4 Juni 2023

To be continue🐾

Iridescentजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें