BAB II

167 34 11
                                    

Author's POV

Noa dan Hanjis saling tatap keheranan karena Jihoon yang sejak tadi duduk di hadapan mereka terus mengecek ponselnya. Berkali-kali ia menghela nafas tiap kali menatap layar ponselnya. Ia bahkan belum menyantap makan siangnya sedikitpun karena hanya terus mengaduknya asal sejak tadi.

Mereka makan siang di kantin markas. Ketiganya dan juga Haechan bekerja sebagai detektif kepolisian. Mereka bertugas di divisi yang sama, yaitu divisi narkotika. Jihoon dan Hanjis bertugas di tim 1, sementara Noa di tim 2. Sedangkan Haechan bertugas di divisi pembunuhan.

Belakangan ini Jihoon memang kerap kelihatan muram. Ia juga tak banyak bicara seperti biasanya dan lebih banyak diam termenung entah memikirkan apa.

"Lo berantem ya sama Karina?" Noa jadi yang pertama mengutarakan rasa penasarannya.

"Nggak," sahut Jihoon.

"Terus lo nungguin chat dari siapa sampai ngecek handphone terus-terusan dari tadi?" Hanjis ikut bertanya.

Jihoon diam sebentar, sebelum membetulkan posisi duduknya menjadi lebih tegap. "Selli," ujarnya, "kalian ngerasa dia agak beda nggak sih?"

Noa dan Hanjis kompak menggeleng.

"Semalem gua abis curhat sama dia lewat telepon. Dan dia biasa aja tuh," ujar Hanjis.

"Bukannya semalem dia tidur cepet?" tanya Jihoon lagi, karena semalam Selli tak keluar dari kamarnya waktu Jihoon makan malam di rumah gadis itu.

"Nggak kok. Gua teleponan sama dia sekitar jam 10 an."

"Gua juga chatan sama dia kemaren. Dia biasa aja kok, walaupun ngelarang waktu gua izin buat numpang makan di rumahnya," ujar Noa. "Emang dia nggak bales chat lo?"

"Belum. Belakangan ini, tiap gua chat pasti dia balesnya lama. Dan gua ngerasa dia nggak kaya biasanya," ujar Jihoon.

"Jadi lo murung gini gara-gara itu?" tanya Hanjis.

Jihoon berusaha mengendalikan raut wajahnya. "Gua cuma khawatir. Tiap hari gua kepikiran, gimana keseharian dia di sekolah belakangan ini. Gua khawatir dia dapet perlakuan nggak mengenakkan setelah disamperin Julia waktu itu." Jihoon kembai bersandar pada sandaran kursi. Kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya.

Lagi-lagi kedua kawannya saling tatap, seolah memiliki isi pikiran yang sama.

"Kalau lo sekhawatir itu, samperin aja ke sekolah. Liat sendiri gimana keadaan Selli," ucap Noa. Hanjis mengangguk setuju.

Jihoon sontak kembali duduk tegap. "Bener juga. Lagian gua emang mau balikin chargeran Jeno yang ketinggalan di mobil gua," ujarnya. Sebelum pergi ia meminta tolong agar Noa dan Hanjis menaruhkan nampan makan siangnya di tempatnya.

Ia berlari keluar dari markas dan lantas menuju mobilnya yang terparkir di depan. Di tengah perjalanan menuju sekolah, ia mampir ke toserba untuk membeli beberapa camilan.

Koridor sekolah ramai siang ini, karena jam istirahat baru saja tiba. Jihoon berjalan di antara para murid yang tengah berlarian menuju kantin seraya melihat ke sana ke mari, berharap bisa menemukan gadis yang ingin ditemuinya.

Sejak terakhir kali bicara empat mata di lantai dua rumah Selli, Jihoon belum bertemu gadis itu lagi. Meski Jihoon datang ke rumahnya untuk makan malam bersama, Selli tak terlihat karena katanya tidur lebih awal. Jihoon bahkan menginap, tapi esok paginya ia tetap tak bertemu gadis itu karena Selli berangkat jauh lebih pagi dari biasanya.

"Siang, Pak."

Jihoon menoleh waktu seorang siswa menyapanya. "Eh, Ian. Liat Jeno, nggak?"

"Nggak. Tapi kayanya di kantin lagi makan siang," ujar Damian atau yang biasa disapa Ian. Salah satu murid perwalian Selli yang sudah cukup akrab dengan Jihoon.

Twenty NineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang