1. The Culprit

49 8 9
                                    

Happy Reading!

****

Emilia Kusuma hanya bisa menatap sepatu hitamnya yang mulai pudar dimakan tanah dan pasir ketika laporan hasil belajarnya tengah dibaca Bu Jasmine. Tidak banyak yang dapat dilakukan seorang siswa saat dipanggil ke ruang guru selain pura-pura sibuk.

Bu Jasmine menutup laporan itu. Wajahnya tidak puas. Diteliti nilai raport oleh wali kelas pastinya membuat semua siswa ketar-ketir, namun karena wajah Bu Jasmine awet muda dan polos, sering kali dia tidak disegani siswa. Emilia pun berpikir begitu, dia tidak menyeramkan, katanya dalam hati meski kelanjutan kehidupan SMA-nya ada di tangan guru bertubuh mungil itu.

"Nilaimu kurang memuaskan untuk aplikasi pendaftaran beasiswa, kamu enggak aktif kegiatan organisasi sekolah, ada catatan beberapa guru tentang kamu tertidur di kelas." Bu Jasmine mengembalikan buku raport itu pada Emilia. "Saya enggak yakin ada pihak yang bisa bantu meringankan biaya uang sekolahmu dengan performamu ini."

"Saya mengerti," ungkap Emilia, tidak kecewa.

Emilia atau kerap disapa Emily itu sudah menduganya bahkan sejak dia mendapat panggilan ke ruang guru karena menunggak uang sekolah selama hampir dua bulan. Emily tahu syarat menjadi penerima beasiswa sangat ketat, hampir mustahil murid biasa sepertinya mendapat beasiswa, namun paling tidak dia ingin mencoba. Rekomendasi guru bisa jadi cara bagus meningkatkan peluang, namun itu pun tidak bisa ia dapatkan.

"Emily," panggil Bu Jasmine, suaranya lembut dan sabar seperti seorang ibu. "Apa ibu bisa ketemu orang tuamu?" Jasmine tercekat, sadar sesuatu. "Ah, maksud saya, ketemu ibumu. Apa bisa?"

"Dia sakit," jawab Emily lancar seperti robot yang diprogram.

"Untuk yang kedua kalinya dalam bulan ini?"

Emily mengangkat bahu. "Ibu sering sakit."

Selama setengah tahun Bu Jasmine menjabat sebagai wali kelas Emily, selama itu pula dia ingin ketemu ibunya Emily, namun selalu saja ada halangan. Halangan itu ia yakin tak lain adalah Emily sendiri.

Bu Jasmine melepas kacamatanya. "Saya mengerti kondisi keluargamu enggak bagus setelah ayahmu meninggal. Sulit mencari pekerjaan bagi ibu rumah tangga, keuangan keluargamu pasti terguncang, tapi ini bukan sesuatu yang harus dipikirkan siswa. Ibu harus membahas ini dengan ibumu."

Saya juga enggak yakin itu bisa dibahas dengan Ibu, Emily membatin.

Bu Jasmine memberi Emily keringanan bayar uang sekolah sampai minggu depan, lalu menyuruh Emily masuk kelas saat mendengar bunyi bel masuk berdentang.

Satu minggu. Itu bukan waktu yang cukup untuk mengumpulkan uang. Andai saja dia masih bekerja di Tobey's Kitchen, dia bisa meminta bos gendut cerewet tapi tidak pelit itu gaji di muka, namun satu bulan lalu dia dipecat karena guru olahraga sekolahnya datang sebagai pengunjung dan melihatnya bekerja. Peraturan ketenagakerjaan untuk anak di bawah umur rupanya lebih ketat dari penjualan alkohol di restoran ayam. Tobey tidak mau cari masalah dengan polisi dan tenaga pendidik, lalu memecat Emily.

Emily melipir ke jendela saat gerombolan cewek melintas di lorong. Mereka berlari sambil cekikikan, seperti para anak-anak usil kompleks yang suka memencet bel rumah orang. Salah satu di antaranya memegang dua kotak susu.

****

"Awas!"

Cewek berambut pendek yang berdiri dekat pintu masuk kelas menoleh ke arah suara ketika kotak susu terlempar menepuk kepalanya. Kotak susu itu telah dibuka. Isinya berhamburan menciprati rambut cewek itu, kerah kemeja, bahkan lantai lorong yang sudah digosok sampai licin. Tiga orang cewek berlari menghampirinya. Salah satu di antara mereka, yang bertubuh paling tinggi, memungut kotak susu yang terjatuh di lantai.

The Consequence Of FreedomWhere stories live. Discover now